Tidak semua pengalaman saya di perguruan tinggi serba pahit. Berikut ini sebagian yang manis.
Internasionalisasi di daerah
Pemerintah Indonesia kini mendorong internasionalisasi perguruan tinggi dalam berbagai program. Ada beasiswa berlimpah untuk program studi S-2 dan S-3 di mancanegara.
Dorongan publikasi di jurnal internasional, kerja sama penelitian dan pengajaran lintas negara, serta partisipasi dalam seminar internasional juga digenjot.
Belakangan, Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi berencana mengundang 200 dosen asing yang akan digaji dengan standar internasional. Berbagai kebijakan itu sempat menuai debat.
Menurut saya, internasionalisasi bisa sangat baik bila dirancang dan dilaksanakan hati-hati. Tidak cukup mengundang tenaga ahli asing sebagai dosen atau peneliti. Internasionalisasi juga diperlukan di kalangan mahasiswa, tenaga profesional administrasi, termasuk rektor, dekan atau kepala biro.
Yang tidak kalah penting, internasionalisasi seharusnya tidak terpusat hanya di Jakarta atau segelintir ibu kota provinsi lainnya. Kesempatan yang sama, atau lebih, selayaknya tersedia bagi mereka yang jauh dari Jakarta.
Nilai positif internasionalisasi layak dimaknai secara luas, tidak semata-mata untuk kenaikan peringkat dalam lomba keunggulan antaruniversitas. Internasionalisasi membuka kesempatan belajar-mengajar yang istimewa bila melibatkan warga akademik dari berbagai latar belakang di tingkat global.
Saya termasuk satu dari sedikit akademikus yang beruntung. Setelah ditolak di sejumlah universitas, saya diterima berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).
Ini perguruan tinggi kecil, swasta, dan tidak tenar sewaktu saya daftar. Ketika saya lulus dan sempat bekerja sebagai dosen di situ, UKSW menjadi salah satu universitas paling menonjol di Asia Tenggara.
Di kampus ini, pernah hadir sebagian tokoh intelektual legendaris. Ketika Arief Budiman (salah satu perintis Manifes Kebudayaan dan golput) mengakhiri 8 tahun perantauannya, ia memilih bekerja di UKSW.
Almarhum George Y Aditjondro sempat berkuliah dan mengajar di UKSW. Ia dikenang karena ketekunannya meneliti seluk-beluk harta keluarga Cendana di berbagai penjuru dunia.
Ada pula almarhum Th Sumartana (pendiri Yayasan Dialog Antariman). Salah seorang mantan dosen UKSW, Gerry van Klinken, kini dikenal sebagai salah satu peneliti paling terkemuka di dunia tentang politik Indonesia.
Lulusan UKSW dari generasi yang lebih muda termasuk Stanley Prasetyo (mantan Wakil Ketua Komnas HAM, kini Ketua Dewan Pers Nasional), Andreas Harsono (salah satu pendiri Institut Studi Arus Informasi, Aliansi Jurnalis Indonesia, Yayasan Pantau, dan kini peneliti Human Rights Watch), Bre Redana (novelis dan mantan wartawan senior Kompas), dan Danang Widoyoko (mantan Direktur Indonesia Corruption Watch).
Salah satu dari rahasia keberhasilan UKSW adalah dinamika kampus yang melibatkan mahasiswa dan dosen dari Sabang hingga Merauke. Juga dosen dan mahasiswa dari beberapa benua lain. Para dosen asing itu diterima UKSW bukan dalam usaha untuk berlomba peringkat.