Seorang budayawan pernah bertanya pada seorang seniman saat sedang bersantai di sebuah kafe Manhattan. Dalam terjemahan bebas berikut percakapannya; “Mbak aslinya mana?” dan dijawab “Saya bukan dari mana-mana, saya warga dunia”.
Mungkin budayawan bermaksud menanyakan ‘si Mbak’ ini lahirnya di mana, di negara mana, di kota mana. Namun pengertian ‘asal tempat lahir’ ini kemudian menjelma menjadi identitas dan stereotip.
Seperti ketika kita menanyakan, misalnya “Jo aslimu ngendi je (Jo, asli kamu mana)?” kemudian dijawab “Seko Banyuwang (dari Banyuwangi)”. Kemudian si penanya orang Jawa itu mengasosiasikan dengan orang Blambangan atau orang Osing, dan dia membatin “Hmm, Bejo ini pasti punya kaitan dengan orang yang sukanya menculik perempuan untuk dinikahi…”
Hal seperti ini mirip keyakinan sebagian orang tua Jawa yang menganggap perempuan Sunda dengan streotipe tertentu sehingga sebisa mungkin anaknya tidak usah menikah orang Sunda.
Stereotip sendiri merupakan istilah dalam psikologi sosial untuk menggambarkan over-generalisasi dalam mengategorikan sekelompok orang.
Misalnya, orang Batak dianggap memiliki stereotip kasar dan keras. Padahal ya tidak semuanya. Teman saya laki laki orang Batak, lahir dan besar di Batak, orangnya lemah lembut dan tidak ada kasar-kasarnya sama sekali.
Stereotip ini kental hubungannya dengan identitas tertentu, misal wilayah dan tempat kelahiran.
Orang yang lahir di wilayah tertentu dianggap orang asli. Padahal ini problematik.
Teman saya orang Tionghoa, lahir turun temurun sejak kakek-neneknya lahir di Cirebon. Sampai sekarang tidak ada yang menganggapnya orang asli Cirebon.
Sehingga, menurut saya stereotip ini menyesatkan.
Identitas stereotip dalam politik
Tidak hanya wilayah asal dan tanah kelahiran, preferensi politik bisa juga menjadi identitas stereotip.
Bahkan warna baju bisa menjadi identitas stereotip. Dalam pertandingan sepakbola, orang yang memakai baju dengan warna mirip suporter lawan, meski orang itu hanya numpang lewat bisa diejek, bahkan dipukuli.
Begitu pula para perantau seperti saya yang bekerja di Jakarta menjelang lebaran selalu ditanya “kapan mudik?” Istilah mudik ini berarti pulkam alias pulang kampung karena saya dianggap bukan asli Jakarta meski saya bertahun-tahun hidup di Jakarta.
Kata pulang menurut KBBI berarti “pergi ke rumah atau ke tempat asalnya”. Kawan saya di kantor sering berseloroh ” Gue kagak mudik nih, orang gue betawi asli...”. Jadi arti pulang di sini sebenarnya tereduksi sehingga ‘pulang’ hanya milik orang non-Jakarta atau lebih khusus non-betawi yang kembali ke kota asalnya.
Padahal ketika saya akan balik lagi ke Jakarta saya pamit pada Mbah saya “Mbah kulo badhe wangsul teng Jakarta,(Mbah, saya mau ‘balik’ ke Jakarta)” demikian kira-kira, sehingga pengertian ‘pulang’ di sini bertabrakan dengan pengertian ‘pulang’ sebelumnya.
Meski demikian, seringkali saya sendiri memberikan “pagar” atau stereotip untuk memudahkan saya mengenal orang satu dengan yang lain. Misal si Horas dari Medan, oh si Kalpika dari Bali, dan seterusnya.
Tujuannya positif: supaya saya bisa dengan cepat menyesuaikan diri bila mengobrol. Misalnya dengan si Horas saya kecil kemungkinan akan bertanya “Bagaimana Bli, pantai Kuta sekarang, rame ya?” Pertanyaan itu untuk si Kalpika.
Namun kenyataannya stereotip lebih sering digunakan untuk menyatakan wilayah dan menghakimi daripada sebagai alat bantu untuk saling mengenal.
Pada suatu ketika, orang Batak Sanggau Ledo mungkin akan langsung curiga jika berpapasan orang Madura, begitu pula sebaliknya. Anggota FPI akan melihat dan memperlakukan orang Ahmadiyah berbeda dengan orang Muhammadiyah.
“Cebong” (pendukung Jokowi) akan langsung menganggap “Kamvret” (pendukung Prabowo) tidak paham dan sebaliknya.
Lebih dari itu pagar-pagar itu kini semakin menyempit, bersilangan, semakin tinggi dan meruncing.
Stereotip menyesatkan
Sebuah kisah mengatakan bahwa dahulu kala Tuhan menjatuhkan sebuah cermin dari langit dan pecahannya terserak di seluruh muka bumi. Setiap orang di belahan bumi yang berbeda menemukan cermin itu dan tergetar oleh keajaibannya.
Mereka mulai mengenal penciptanya dari pantulan cermin tersebut dan Tuhan memerintahkan para penemu cermin untuk menyatukan kembali pecahan-pecahan tersebut dengan mengenal orang dari belahan bumi yang lain. Namun pekerjaan itu tidak pernah selesai.
Para penemu cermin mewariskan kisah dan tugas berat ini pada anak keturunannya sehingga kisah cermin tersebut menjadi sejarah dan membentuk bangsa-bangsa.
Namun bukan disatukan, pecahan cermin ajaib itu justru dipecah-pecah karena semua orang ingin memiliki. Mereka memperebutkan dan bahkan menggunakan sebagai senjata untuk melukai bangsa lain.
Setiap pemilik cermin merasa cerminnya yang paling asli.
Jadi sebenarnya apa yang membuat seseorang lebih asli daripada yang lain?
Jawabannya tidak ada. Menurut saya istilah “asli” itu sendiri lebih sering menyesatkan dan menyebabkan kita melakukan stereotip.
Hal ini yang mungkin ingin dihindari ‘Mbak’ tadi yang mengatakan “Saya bukan dari mana-mana, saya warga dunia”, supaya kita tidak terjebak pada over-generalisasi yang berpotensi merusak hubungan pertemanan.
Hal ini bisa kita terapkan juga pada pertanyaan “pemilu tahun depan kamu milih siapa?”. Kita bisa menjawab simpel saja: “Rahasia” atau “saya belum menentukan.”
Menurut saya itu lebih baik daripada terjebak dalam perseteruan politik yang belum tentu ada manfaatnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.