Tiap-tiap rumah jadi Perguruan !
Tiap-tiap orang jadi Pengajar !
Demikian semboyan Ki Hadjar Dewantara dalam anjurannya mengenai “mobilisasi intellektuil nasional” yang ditulisnya delapan puluh dua tahun yang lalu di majalah “Keluarga” edisi bulan Desember tahun 1936.
Meski sudah jaman old, tapi relevansinya merentang hingga kini di tahun 2018. Ketika itu Ki Hadjar punya mimpi setiap orang yang terpelajar berbagi ilmunya dengan tidak meninggalkan karakter budaya nasionalnya, dimana saja, kapan saja untuk membangun karakter bangsa Indonesia.
Hari lahir Ki Hadjar Dewantara sendiri di tanggal 2 Mei 1889, dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar sendiri baru serius mempelajari dan terjun dalam dunia pendidikan dan pengajaran tahun 1922, setelah malang melintang menjadi aktivis politik radikal menentang penjajah dan berkali-kali ditangkap polisi, dibuang, dipenjara, dan dihukum kerja paksa.
Tulisan-tulisan Ki Hadjar kebanyakan berupa artikel, konsep, dan risalah pidato sejak tahun 1928 hingga wafatnya di tahun 1959. Ratusan artikel beliau sudah dibukukan oleh Taman Siswa menjadi dua jilid, satu jilid berjudul “Pendidikan” sejumlah 116 artikel, dan satu jilid lagi berjudul “Kebudayaan” berisi 67 artikel kebanyakan dalam bahasa Indonesia, sebagian kecil ada juga dalam bahasa Belanda.
Artikel-artikel tersebut menurut saya layaknya harta karun nasional yang harus diperbanyak dan didalami kembali setiap saat karena kedalaman pemikiran dan ide-idenya yang melampaui jamannya.
Pada era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya, sudah pernah ada inisiatif untuk menerbitkan kembali kedua buku tersebut dan dibagikan pada semua guru se-Indonesia. Saya tidak tahu bagaimana akhirnya setelah beliau di-reshuffle. Semoga sudah terlaksana. Tapi minimal menteri yang sekarang juga menyebut-nyebut Ki Hadjar dalam pidato Hardiknasnya 2 Mei 2018 kemarin, sampai tiga kali.
Memang sudah semestinya minimal setahun sekali kita selalu berefleksi dan mempelajari kembali setiap saat pemikiran-pemikiran Ki Hadjar yang menurut saya masih kontekstual dengan masa kini, meski belum semua impian beliau tercapai. Saat ini banyak sekali “pendekar-pendekar” pendidikan di sentero nusantara, mulai dari yang punya inisiatif mengajak mahasiswa menjadi guru di pedalaman, membuat perpustakaan keliling, yang kemudian menginspirasi kegiatan lain yang serupa, ada pula yang membuat aplikasi android dan video sebagai suplemen belajar anak dan sebagainya.
Namun menurut saya itu belum cukup, seperti semboyan Ki Hadjar di awal tulisan ini “Tiap-tiap orang menjadi pengajar!” Atau tidak usah tiap orang lah, minimal seperempat, atau malah sepersepuluh saja dari tiap orang yang berpendidikan di negeri ini bergerak untuk memberikan ilmunya, atau minimal memberikan contoh perilaku yang positif pada anak-anak.
Menurut saya itu sudah cukup untuk membantu Pak Menteri melaksanakan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) seperti disampaikan dalam pidato Hardiknas kemarin. Karena pendidikan tidak berhenti sebagai materi ajar di sekolah, apalagi pendidikan karakter.
Tidak bisa diajarkan melalui sekian jam pelajaran. Pendidikan karakter hanya akan terlaksana melalui contoh-contoh nyata dari perilaku orang-orang di sekitar kita. Kalau menggunakan konsep trisentra Ki Hadjar, alam pendidikan ada tiga. Alam-keluarga, alam-perguruan, dan alam-pergaulan. Contoh perilaku yang merefleksikan karakter ada di ketiga alam trisentra tersebut, tidak bisa hanya di sekolah (alam-perguruan). Pada lingkungan keluarga (alam-keluarga) dan pergaulan (alam-pergaulan).
Hampir setengah waktu hidup kita di jaman now ini dihabiskan di depan layar, akumulasi screen-time kita di depan handphone, tablet, laptop, pc, atau televisi dalam sehari bisa berjam-jam. Korban pertama perubahan perilaku ini adalah anak-anak, calon-calon penerus bangsa yang mau dibangun karakternya menghadapi revolusi industri 4.0.
Belum ada penelitian yang membuktikan bahwa screen-time saja menyebabkan perubahan yang negatif terhadap perilaku anak. Dampak buruk hanya terjadi apabila orangtua tidak mendampingi. Sayangnya yang demikian yang paling sering terjadi. Istilah kerennya adalah Technoference. Seperti yang disebutkan Brandon T. McDaniel dan Jenny S. Radesky dari Illinois State University dalam penelitiannya “Technoference: Parent Distraction With Technology and Associations With Child Behavior Problems” di jurnal Child Development edisi Mei 2017.
Technoference adalah interupsi teknologi (technological interruption) yang membuat anak menjadi anak menjadi lemah dalam kontrol emosi, sering gelisah, mudah frustasi, sering merengek dan merajuk lebih dari biasanya (situasi yang mirip ketika orangtua marah-marah karena koneksi wifinya sedang lemot padahal baru mau update status IG atau Facebook).
Kondisi ini apabila tidak diatasi akan berlanjut menjadi kebiasaan dan karakter anak ketika tumbuh dewasa. Menurut penelitian tersebut hal ini terjadi karena lemahnya interaksi anak-ayah, dan anak-ibu disebabkan karena waktu anak berinteraksi dengan orangtua jauh lebih sedikit daripada interaksi anak-smartphone dan orangtua-smartphone.
Di sini juga muncul istilah “absent-presence”, dimana orangtua dan anak ada dalam satu ruangan, tapi tidak saling berinteraksi. Solusinya? Gampang, perbanyak waktu interaksi kita dengan anak-anak, termasuk interaksi dengan orang-orang di sekitar kita secara fisik dibandingkan interaksi kita dengan smartphone.