Beberapa tahun lalu seorang VP (vice president) salah satu direktorat di kantor datang ke ruangan saya untuk “memprotes” hasil asesmen pengukuran kompetensi anak buahnya bulan lalu.
Bukan protes dalam arti sebenarnya, tapi ingin tahu dan membuktikan skor hasil asesmen dalam psikogram. Beberapa hari lalu, ia juga beberapa kali minta dites.
Akhirnya beliau saya minta mengerjakan salah satu alat tes di meja saya. Berduaan. Saya mengetes, ia melakukan pengetesan.
Jarang saya menemui kepala departemen yang punya rasa ingin tahu begitu tinggi tanpa merasa bossy atau gengsi.
Dengan senang hati saya menjawab semua pertanyaan-pertanyaannya. Biasanya selama ini para pimpinan yang saya “support” dalam bentuk asesmen ada 2 macam.
Model pertama, model tidak mau tahu.
Sebenarnya tahu manfaatnya dan selalu minta anak buahnya dilakukan asesmen agar tahu kekuatan dan kelemahan dalam bekerja. Namun setelah laporan asesmen diserahkan, tidak ada respon, tidak ada umpan-balik (feedback) baik ke tim asesor maupun ke anak buah.
Laporan ditumpuk saja dilemari, atau dijadiin ganjal meja.
Model kedua, sok tahu.
Membaca laporan asesmen dengan detail lalu protes keras kalau asesmen “tidak valid”, “tidak menggambarkan yang sebenarnya”, dan segudang alasan yang lain. Akhirnya anak buah diberikan umpan balik seadanya.
Saya lebih suka menghadapi model kedua. Paling tidak orangnya merespon dalam bentuk protes. Saya jadi punya alasan untuk menjawab.
Tapi lebih senang lagi saya menghadapi VP saya yang datang tadi siang. Protesnya sangat asertif dan elegan.
Akhirnya kami diskusi panjang mengenai kekuatan dan kelemahan asesmen psikologi. Saya termasuk praktisi psikologi yang pilih-pilih menggunakan alat tes. Kalau tidak diperlukan, saya tidak akan pakai.
Untuk aplikasi dalam dunia kerja, alat tes psikologi saya bedakan menjadi 3 golongan.
1. Alat tes mengukur kemampuan kognitif.