KOMPAS.com - Apa ada “Rumus” psikologi untuk membuat jatuh cinta? Jawabannya: ada. Kabar baik buat para 'jomblowan' dan 'jomblowati'.
Sebenarnya penelitian psikologi yang menjawab pertanyaan ini cukup banyak. Semuanya berkaitan dengan emosi, atau sering juga disebut perasaan. Misalnya perasaan marah, perasaan takut, atau perasaan jatuh cinta.
Iya, cinta (romantic feeling) dalam ilmu psikologi bisa dimasukkan dalam kategori emosi.
Dalam penelitian terbaru, peneliti dan profesor psikologi University of California, Berkeley. Alan S. Cowen dan Dachner Keltner mengklasifikasi emosi menjadi 27 kategori. Dari 27 itu di dalamnya termasuk perasaan romantik (romance), takut (fear), dan cemas (anxiety).
Ketika kita jatuh cinta, bagi yang sudah pernah, tanda-tanda fisik yang umumnya muncul di antaranya susah tidur karena selalu terngiang-ngiang wajahnya. Tanda fisik lain, grogi berat, detak jantung meningkat, dag-dig-dug, mules setiap kali bertemu, padahal sebelumnya ketemu rasanya biasa saja.
Tapi tunggu dulu. Susah tidur, dag-dig-dug, mules dan semua tanda fisik itu juga terjadi ketika kita misalnya akan menghadapi ujian nasional, atau wawancara kerja. Gejala-gejala itu juga muncul ketika kita selesai nonton film horror sendirian di rumah jam 12 malam.
Memang sebenarnya ketiga macam emosi ini, cinta, takut, dan cemas memiliki gejala fisiologis sama. Uniknya adalah kita bisa campur adukkan ketiganya tanpa kita sadari.
Fenomena ini dinamakan “misattribution of arousal”. Bagaimana cara kerjanya?
Fenomena pertama kali diteliti pada tahun 1974 oleh Donald G. Dutton and Arthur P. Aron, profesor psikologi dari State University of New York. Penelitian mereka populer dengan nama “eksperimen jembatan cinta” (love bridge experiment).
Penelitian ini diikuti 199 laki-laki lajang. Pada salah satu bagian dalam penelitian ini, para lelaki itu dibagi menjadi 2 kelompok. Satu kelompok diharuskan berdiri pada sebuah jembatan pertama yaitu jembatan besi biasa yang kuat sepanjang 3 meter dengan tinggi jembatan sama.
Kelompok lain berdiri pada jembatan kedua yaitu sebuah jembatan gantung sepanjang 140 meter dengan tinggi 70 meter yang bergoyang-goyang diterpa angin kencang.
Pada saat berdiri di jembatan ini, tanpa mengetahui tujuan penelitian sebenarnya, semua peserta diminta untuk mengisi kuisoner oleh seorang wanita cantik dengan penampilan menarik.
Wanita ini mengaku sebagai mahasiswi psikologi yang butuh bantuan menyelesaikan tugas kuliahnya.
Selain mengisi kuisoner, para lelaki ini juga diminta merespon sebuah gambar dari sebuah tes psikologi proyektif TAT (Thematic Apperception Test) yang dibawa wanita itu. Setelah selesai, wanita itu memberikan nomor teleponnya dan menjelaskan bahwa apabila ada pertanyaan lanjutan bisa menghubunginya lewat telepon.
Hal yang terjadi sebenarnya adalah, dari respon terhadap gambar TAT tadi, psikolog bisa menggambarkan seberapa tertarik (secara romantik) para lelaki ini terhadap wanita di depannya.
Hasilnya terdapat perbedaan signifikan. Kelompok lelaki yang melewati jembatan tidak stabil dan “menakutkan” memberikan respon romantik lebih banyak terhadap gambar yang diperlihatkan.
Begitu pula, lebih banyak lelaki pada jembatan kedua kemudian menelepon. Apa kesimpulan para peneliti?
Kelompok laki-laki yang berdiri pada jembatan gantung mengalami respon emosi lebih kuat, yaitu rasa takut karena tidak terlalu yakin dengan keamanan jembatan yang terus bergoyang, rasa cemas karena berdiri cukup lama, ditambah dengan rasa tertarik bertemu wanita cantik.
Ketiganya bercampur menjadi satu. Setelah melewati jembatan, emosi mengerucut menjadi satu yaitu rasa tertarik. Namun dengan gejala fisiologis tiga kali lipat.
“Kesalahan” merespon gejala emosi inilah yang dinamakan “misattribution of arousal”. Rupanya sampai hari berikut gejala fisik masih ada, lalu menelepon.
Berbeda dengan kelompok lelaki pada jembatan pertama, respon emosi hanya satu yaitu rasa tertarik pada wanita cantik.
Meski belum ada penelitian lanjutan komperhensif, misalnya subyek penelitiannya diubah menjadi wanita, hasil penelitian ini kemudian banyak diaplikasikan secara populer.
Misalnya, untuk merawat perasaan cinta dengan pasangan lalu kita bisa mengajak pasangan nonton film horor. Emosi takut ketika nonton film horor, karena nontonnya bareng, kemungkinan besar bisa dipersepsikan sebagai perasaan romantik setelah selesai nonton.
Jadi aplikasi sederhananya adalah, kalau bisa, ungkapkan perasaan Anda beberapa saat setelah pasangan anda selesai wawancara kerja, presentasi bisnis, ujian CPNS, nonton film horor, atau sesudah dikejar anjing tetangga.
Kemungkinan besar Anda akan direspon positif, setidaknya menurut penelitian Pak Dutton dan Pak Aron. Manfaatkanlah dengan bijak, selamat mencoba!
Sumber :
http://www.pnas.org/content/early/2017/08/30/1702247114
http://psycnet.apa.org/record/1975-03016-001