Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Apakah Bias Kognitif Memengaruhi Pilihan Anda dalam Pilkada?

Kompas.com - 27/06/2018, 15:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Selama kita masih punya otak, Anda, tentu saja termasuk saya, hampir tidak pernah bisa rasional dalam menentukan pilihan dalam pemilihan, baik itu pilbup, pilwakot, pilgub, maupun pilpres. Sama saja. Mengapa?

Karena manusia tidak didesain sebagai makhluk rasional. Keputusan-keputusan yang kita ambil hampir pasti dibarengi dengan bias-bias kognitif.

Loh kok bisa? Kan kita punya akal dan pikiran rasional atau obyektif?

Obyektif bisa, tapi hanya untuk hal-hal tertentu yang tidak melibatkan emosi atau tidak melibatkan individu lain.

Misalnya ketika menghitung ikan dalam akuarium, manusia bisa obyektif. Umumnya hasil hitungan kita akan sesuai fakta. Karena memang apa untungnya menghitung ikan? Kalaupun nanti sedih (salah satu bentuk emosi), misalnya karena ternyata ada ikan yang mati, itu emosi setelah menghitung, bukan sebelum atau saat menghitung.

Emosi memainkan peran

 

Setiap kandidat selalu menyodorkan program-program generik semacam sekolah gratis, pembangunan infrastruktur, penurunan harga, membuka lapangan pekerjaan dan segerobak program-program keren yang lain.

Namun kalau kandidat tidak membungkus dengan “kemasan” tertentu, termasuk SARA (Suku Agama Ras Antar golongan), atau datar-datar saja, maka pemilih biasanya kurang tertarik.

Datar-datar saja maksudnya, semua sudah tahu kewajiban pemimpin salah satunya adalah mencerdaskan warga, biasanya dengan membuka lapangan kerja. Semua sudah tahu pemimpin yang baik tidak membiarkan warganya menganggur, jadi harus membuka lapangan kerja.

Kalau begitu saja, emosi kita tidak akan menggelora.

Ironisnya emosi memainkan peranan sentral dalam pengambilan keputusan para pemilih. Dugaan saya, hanya sebagian kecil, kecil sekali, pemilih akan repot-repot menggali program-program para pasangan calon pemimpin daerah dengan serius dan obyektif.

Sebagian besar sisanya memilih karena dua hal; satu pasangan itu kita disukai, kedua karena pasangan lain dibenci.

Jadi tim sukses akan berusaha membuat pasangan jagoannya disukai, sekaligus kalau bisa membuat pasangan lawan tidak disukai. Misal, dengan black campaign.

Pada artikel saya sebelum “Fakta: Otakmu Sulit Membedakan Opini dan Fakta”, saya menceritakan mengenai “The Stroop Effect” bahwa sekali kita suka pada calon tertentu, kebanyakan orang akan “lengket” bahkan mengabaikan (bila ada) rekam jejak yang negatif dan sebaliknya.

Contohnya, saya susah sekali menyukai sosok politisi, sebut saja F, meski teman saya sangat dekat dengan beliau. Saya kebanjiran statement negatif di sosial media mengenai si F, termasuk yang saya dengar sendiri.

Halaman:



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau