JAKARTA, KOMPAS.com - Clarissa Merry dan Rivaldo Gurky, dua mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) yang tergabung dalam tim RISE, memperoleh juara pertama seleksi final Go Greem in The City (GGITC) Indonesia, ajang kompetisi energi terbarukan.
Dengan kemenangan ini, mereka akan mewakili Indonesia pada final GGITC 2018 di tingkat Asia Pasifik.
Karya yang diusung Clarissa dan Rivaldo mengusung ide Smart Memory Alloy for Reliable Trackers (SMART). Konsep SMART ini diterapkan pada sistem panel surya.
Saat dihubungi Kompas.com, Rabu (18/7/2018), Clarissa mengatakan, ide muncul karena mereka tertarik dengan panel surya yang ada di Kupang.
"Untuk ide sendiri, aku sama Valdo memang kemarin brainstorming, dan salah satu masalah yang menarik untuk kami adalah tentang adanya panel surya di Kupang. Terus kami do research deeper, tentang kekurangan dan kelebihan di Kupang. Kebetulan Valdo nemuin sesuatu smart material = shape memory alloy," kata Clarissa.
Baca juga: Panel Surya SMART Antar Dua Mahasiswa UI ke Kompetisi Asia Pasifik
SMART merupakan proyek alat panel tenaga surya yang dapat secara fleksibel mengikuti arah gerak matahari.
Mereka membutuhkan waktu tiga bulan untuk mempersiapkan ide ini.
"Kami siapin sekitar 3 bulan. Riset dari jurnal-jurnal dan berita. Setelah riset lebih dalam tentang shale memory alloy, maka kami simpulkan kalo material ini feasible untuk dijadikan dalam bentuk pegas, (kemudian) bisa diaplikasikan ke panel surya untuk menggerakkan panelnya mengikuti sinar matahari," kata Clarissa.
"Temuan barunya di bagian shape memory alloy sebagai pegas yang bisa merenggang dan merapat sesuai dengan suhu yang ditentukan. Maka kita bisa aplikasikan pegas ini pada panel surya sebagai solar tracker sederhana tanpa harus ada listrik," kata Clarissa.
Shape memory alloy digunakan untuk menggantikan teknologi solar tracker. Dalam penggunaannya, teknologi solar tracker memerlukan listrik.
"Maka material ini bisa menggantikan teknologi solar tracker yang dijual di pasaran. Teknologi solar tracker yang ada ini punya banyak komponen kompleks yang digerakkan dengan listrik, sehingga mengonsumsi listrik," lanjut dia.
Perbedaan panel surya yang menerapkan konsep SMART dengan panel surya konvensional terletak pada besaran listrik yang dihasilkan.
Baca juga: Mahasiswa Universitas Brawijaya Ciptakan Kosmetik dari Kulit Kelinci
Diperkirakan, dalam satu hari, alat ini mampu menghasilkan energi listrik hingga 31,6 MWh, yang setara dengan menghidupkan 2.300 rumah tangga dengan konsumsi listrik rata-rata per harinya sebesar 13,6 kWh.
"Panel surya konvensional bisa menghasilkan listrik sebesar 20 MWh per hari (basis kapasitas total panel = 5 MWp di Kupang). SMART bisa menghasilkan listrik hingga 31.6 MWh per hari karena kemampuannya mengikuti matahari," ujar Clarissa.
Dengan demikian, temuan baru ini dapat menghemat pengeluaran biaya listrik sebesar Rp 17 juta per hari untuk lapangan panel surya di daerah Kupang secara keseluruhan.
Rencananya, mereka akan bekerja sama dengan pemerintah dalam penerapan ide ini.
"Belum diterapkan di Kupang, karena kami juga sekarang masih cari cara untuk menyampaikan ide ke Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). Tapi memang rencananya kami mau kerja sama dengan pemerintah," kata dia.
Untuk persiapan menghadapi kompetisi yang akan berlangsung pada Agustus mendatang, saat ini mereka sedang melakukan riset lebih dalam tentang ide ini.
"Sekarang kami lagi tahap riset lebih dalam dan sekarang mentoring dengan pihak Schneider," ujar Clarissa.