Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Benarkah Ruang “Open Office” Meningkatkan Komunikasi dan Keterbukaan?

Kompas.com - 10/09/2018, 10:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.comKomunikasi merupakan hal penting dalam organisasi. Dalam survei global dilakukan McKinseyCompany Maret 2018 menyatakan salah satu kompetensi (future skill) penting harus dimiliki untuk bisa menghadapi tantangan masa depan yang semakin cepat berubah (agile) adalah kemampuan komunikasi dan negosiasi.

Salah satu upaya organisasi, dalam hal ini perusahaan, untuk meningkatkan komunikasi dan keterbukaan anggota adalah dengan mendesain ulang arsitektur ruang kerja. Ruang kerja tanpa sekat atau open office kemudian menjadi tren di banyak perusahaan.

Bahkan tiga perempat perusahaan besar di Amerika Serikat membongkar arsitektur lama ruang kerja kubikel berupa bilik-bilik kecil menjadi ruang kerja “open office”. Harapannya,  ruang kerja terbuka tanpa sekat karyawan menjadi lebih sering berinteraksi dengan rekan kerja, lebih terbuka dalam komunikasi, dan semakin sedikit hal-hal ditutup-tutupi.

1. Kurang nyaman dan tidak fokus

Begitu pula di Indonesia, ruang kerja “open office” juga sempat booming dan menjadi trend di mana-mana. Saya sendiri selama kurang lebih 3 tahun pernah bekerja di ruang terbuka semacam ini.

Sambil bekerja di depan laptop, saya bisa melihat sekaligus mendengar apa yang dilakukan dan dibicarakan semua rekan kerja yang ada di depan, di kanan, dan di kiri saya. Beruntung belakang saya jendela.

Awalnya sempat tidak nyaman, namun semakin lama semakin tidak nyaman lagi. Bekerja menjadi tidak fokus, lebih banyak mendengar gosip dibandingkan diskusi mengenai pekerjaan.

Ketika saya coba sampaikan mengenai hal ini, supaya dievaluasi desainnya, pihak manajemen mendengar dan menampung usulan saya. Sampai kemudian saya pindah tempat kerja, usulan saya nampaknya masih ngendon di tempat penampungan.

Mungkin Anda pernah mengalami hal yang sama?

 

2. Penelitian desain lama dan open office

Tapi bagaimana bila yang mengusulkan evaluasi desainnya adalah Ethan S. Bernstein? Ia adalah profesor perilaku organisasi dari Harvard Business School dan Stephen Turban  konsultan organisasi McKinsey Company yang juga peneliti Universitas Harvard.

Kedua peneliti ini melakukan penelitian pada dua perusahaan besar yang masuk dalam daftar Fortune 500 Companies. Dalam studi ini total 152 karyawan dari dua perusahaan ini memakai “sociometric badges”, yaitu kartu tanda pengenal elektronik yang harus dipakai setiap hari selama penelitian berlangsung.

Para karyawan menggunakan kartu pengenal elektronik tersebut selama beberapa minggu sebelum kantor dibongkar dan didesain baru dengan arsitektur “open office”. Tiga bulan setelah desain kantor baru selesai, penelitian dilakukan lagi selama beberapa minggu juga.

Kartu pengenal ini dilengkapi mikrofon, sensor infra-merah, sensor accelerometer, dan bluetooth. Mikrofon digunakan untuk mendeteksi apakah subyek penelitian berbicara atau mendengar (tidak merekam isi pembicaraan), sensor infra-merah untuk mendeteksi apakah subyek berhadapan dengan orang lain (sesama karyawan), sensor accelerometer untuk merekam pergerakan dan postur tubuh, kemudian data yang terakhir direkam melalui bluetooth, yaitu untuk melihat lokasi subyek di area kantor.

3. Menurunnya interaksi tatap muka

Kedua peneliti ini menerbitkan hasil penelitian Juli 2018 dengan judul “The impact of the ‘open’ workspace on human collaboration”. Dari data yang dikumpulkan, mereka menyimpulkan desain ruang kerja terbuka atau “open office” bukannya meningkatkan interaksi dan komunikasi karyawan, namun justru sebaliknya.

Kecenderungan komunikasi dan interaksi tatap muka (face-to-face) pada ruang kerja terbuka menurun drastis hingga 70% bila dibandingkan desain ruang kerja sebelumnya (cubicle).

Mayoritas komunikasi dan interaksi justru naik pada interaksi elektronik (email, pesan instan seperti sms atau Whatsapp). Artinya, semakin terbuka ruang kerja komunikasi antar karyawan cenderung semakin semakin tertutup.

Secara psikologis, interaksi elektronik melalui email atau Whatsapp memiliki kualitas jauh dibawah interaksi langsung tatap muka karena pesan yang disampaikan secara elektronik cenderung lebih mudah terdistorsi dan tidak efisien.

Apakah hasilnya aneh?

4. Kebersamaan yang dipaksakan

 

Justru hasil penelitian ini lebih dapat dipercaya, karena dilakukan pada situasi nyata (real-life situation), bukan dalam bentuk survei, bukan pula di dalam situasi terkontrol, misalnya di laboratorium psikologi.

Kenapa bisa demikian? Peneliti menyimpulkan bahwa kebersamaan yang dipaksakan (forced togetherness) cenderung membuat sebagian besar individu menarik diri secara sosial.

Selain itu, manusia cenderung lebih mudah menjalin interaksi dan mendapatkan teman baru dalam kelompok kecil dibandingkan dalam kelompok besar.

Peneliti juga menyarankan penelitian lanjutan untuk melihat dampak tidak efisiennya pola komunikasi dalam organisasi pada produktivitas kerja. Peneliti menduga komunikasi tidak efisien (dengan diterapkannya desain open office) justru akan menurunkan produktivitas karyawan.

Jadi, ketika Anda mendengar akan ada rencana perubahan lay-out kantor. Anda bisa sodorkan hasil penelitian ini untuk mempertimbangkan untung ruginya.

Sumber:

http://rstb.royalsocietypublishing.org/content/373/1753/20170239

 

Komunikasi merupakan hal yang penting dalam sebuah organisasi. Dalam survey global yangdilakukan oleh McKinsey&Company pada Maret 2018 menyatakan bahwa salah satu kompetensi (futureskill) penting yang harus dimiliki untuk bisa menghadapi tantangan masa depan yang semakin cepatberubah (agile) adalah kemampuan komunikasi dan negosiasi. Salah satu upaya organisasi, dalam hal iniperusahaan untuk meningkatkan komunikasi dan keterbukaan anggotanya adalah dengan mendesainulang arsitektur ruang kerja. Ruang kerja tanpa sekat atau “open office” kemudian menjadi trend dibanyak perusahaan. Bahkan tiga perempat dari semua perusahaan besar di Amerika Serikatmembongkar arsitektur lama ruang kerja kubikel yang berupa bilik-bilik kecil menjadi ruang kerja “openoffice”. Harapannya dengan ruang kerja terbuka tanpa sekat ini karyawan menjadi lebih seringberinteraksi dengan rekan kerjanya, lebih terbuka dalam komunikasi, dan semakin sedikit hal-hal yangditutup-tutupi.Begitu pula di Indonesia, ruang kerja “open office” juga sempat booming dan menjadi trenddimana-mana. Saya sendiri selama kurang lebih 3 tahun pernah bekerja di ruang terbuka semcam ini.Sambil bekerja di depan laptop, saya bisa melihat sekaligus mendengar apa yang dilakukan dandibicarakan semua rekan kerja yang ada di depan, di kanan, dan di kiri saya. Untung belakang sayajendela. Awalnya sempat tidak nyaman, namun semakin lama semakin tidak nyaman lagi. Bekerjamenjadi tidak fokus, lebih banyak mendengar gosip dibandingkan diskusi mengenai pekerjaan. Ketikasaya coba sampaikan mengenai hal ini-supaya dievaluasi desainnya-, pihak manajemen mendengar danmenampung usulan saya. Sampai kemudian saya pindah tempat kerja, usulan saya nampaknya masihngendon di tempat penampungan. Mungkin Anda pernah mengalami hal yang sama. Tapi bagaimanakalau yang mengusulkan evaluasi desainnya adalah Ethan S. Bernstein? Profesor Perilaku Organisasi dariHarvard Business School dan Stephen Turban, konsultan organisasi dari McKinsey&Company. Jugapeneliti di Universitas Harvard. Kedua peneliti ini melakukan penelitian pada dua perusahaan besar yangmasuk dalam daftar perusahaan Fortune 500 companies.Dalam studi ini total 152 karyawan dari dua perusahaan ini memakai “sociometric badges”, yaitukartu tanda pengenal elektronik yang harus dipakai setiap hari selama penelitian berlangsung, yaituselama beberapa minggu sebelum kantor dibongkar dan didesain dengan arsitektur “open office”. Tigabulan setelah desain kantor baru selesai, penelitian dilakukan lagi selama beberapa minggu juga. Kartupengenal ini dilengkapi mikrofon, sensor infra-merah, sensor accelerometer, dan bluetooth. Mikrofondigunakan untuk mendeteksi apakah subyek penelitian berbicara atau mendengar (tidak merekam isipembicaraan), sensor infra-merah untuk mendeteksi apakah subyek berhadapan dengan orang lain(sesama karyawan), sensor accelerometer untuk merekam pergerakan dan postur tubuh, kemudian datayang terakhir direkam melalui Bluetooth, yaitu untuk melihat lokasi subyek di area kantor.Kedua peneliti ini menerbitkan hasil penelitiannya pada Juli 2018 dengan judul “The impact ofthe ‘open’ workspace on human collaboration”. Dari data yang dikumpulkan, mereka menyimpulkanbahwa desain ruang kerja terbuka atau “open office” bukannya meningkatkan interaksi dan komunikasikaryawan, namun justru sebaliknya. Kecenderungan komunikasi dan interaksi tatap muka (face-to-face)pada ruang kerja terbuka menurun drastis hingga 70%! Dibandingkan dengan desain ruang kerjasebelumnya (kubikel). Mayoritas komunikasi dan interaksi justru naik pada interaksi elektronik (email,pesan instan seperti sms atau whatsapp). Artinya semakin terbuka ruang kerja, komunikasi antarkaryawan cenderung semakin semakin tertutup. Secara psikologis, interaksi elektronik melalui email
atau whatsapp memiliki kualitas jauh dibawah interaksi langsung tatap muka. Karena pesan yangdisampaikan secara elektronik cenderung lebih mudah terdistorsi dan tidak efisien. Apakah hasilnyaaneh? Justru hasil penelitian ini lebih dapat dipercaya, karena dilakukan pada situasi nyata (real-lifesituation), bukan dalam bentuk survey, bukan pula di dalam situasi terkontrol, misalnya di laboratoriumpsikologi.Kenapa bisa demikian? Peneliti menyimpulkan bahwa kebersamaan yang dipaksakan (forcedtogetherness) cenderung membuat sebagian besar individu menarik diri secara sosial. Selain itu,manusia cenderung lebih mudah menjalin interaksi dan mendapatkan teman baru dalam kelompok kecildibandingkan dalam kelompok yang besar. Peneliti juga menyarankan penelitian lanjutan untuk melihatdampak tidak efisiennya pola komunikasi dalam organisasi pada produktivitas kerja. Peneliti mendugabahwa komunikasi yang tidak efisien (dengan diterapkannya desain open office) justru akanmenurunkan produktivitas karyawan. Jadi, ketika Anda mendengar akan ada rencana perubahan lay-outkantor. Anda bisa sodorkan hasil penelitian ini untuk mempertimbangkan untung ruginya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau