KOMPAS.com - Mana benar, mahar politik 500M atau tekanan politik parpol pendukung Jokowi? Saya yakin kita semua sudah tahu mengenai kedua desas-desus ini. Pertama Sandiaga Uno setor 1 trilyun rupiah, dibagi dua untuk dua parpol. Kedua, kisah mengenai tekanan para ketua umum partai pendukung Jokowi untuk mengganti cawapres Mahfud MD.
Seperti sudah diramalkan dan diprediksi semua orang, tim sukses Prabowo sibuk menetralisir cerita 500 M. Kalau memang ada setoran itu, mungkin tidak akan banyak kaget juga. Sudah dianggap wajar. Wajar kalau uang bisa membeli segalanya.
Sementara itu di lain pihak, tim sukses Jokowi juga sibuk menyusun counter-opinion bahwa cawapres KH Ma’ruf Amin sudah disiapkan jauh-jauh hari dan batalnya Mahfud MD sebagai cawapres merupakan keputusan Jokowi sendiri tanpa intervensi siapa pun.
Pun kalau benar Jokowi diintervensi, mungkin banyak juga tidak kaget kalau banyak kekuatan-kekuatan di belakang Pak Presiden.
1. Militan tidak terpengaruh
Bagaimana dengan pendukung fanatik masing-masing? Apakah para pendukung Prabowo akan blingsatan kalau transfer ratusan milyar itu benar? Atau sebaliknya apakah pendukung Jokowi akan grogi kalau memang Jokowi mudah dipengaruhi orang lain?
Jawabannya tidak. Mereka, para militan ini tidak akan terpengaruh sedikit pun.
Para pendukung Prabowo tidak akan terpengaruh kalau Sandiaga Uno sampai mengumumkan bahwa dia transfer mahar. Demikain pula pendukung Jokowi juga tidak sedikitpun terpengaruh bila Jokowi siaran langsung menyatakan seseorang menyuruhnya mengganti cawapres.
Tidak akan ada yang terpengaruh. Fakta-fakta tidak akan mengubah argumen mereka. Sekeras apapun faktanya, tidak ada gunanya.
2. Berhenti berpikir kritis
Fenomena ini merupakan hal baru di Indonesia, namun sudah diteliti sejak 1956 oleh Leon Festinger, psikolog sosial dari Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat.
Intinya, setiap orang (tidak hanya para pendukung fanatik) dalam situasi tertentu bisa berhenti “berpikir kritis”.
Umumnya untuk mencapai sebuah kesimpulan, seseorang akan mencari bukti-bukti memperkuat dugaannya. Pada proses ini, ketika orang itu menemukan satu saja “bukti” mendukung.
Orang yang tidak terbiasa berpikir kritis akan mengijinkan otak mempercayainya bahkan ketika yang disebut “bukti” ini sebenarnya hoax, setengah hoax, desas-desus, atau berita belum terkonfirmasi.
Tidak masalah, begitu otak memberikan “ijin”, atau akses, maka orang ini akan percaya 100%. Fenomena ini dinamakan “Motivated Reasoning”. Dinamakan demikian karena emosi dan motivasi mengalahkan fakta dan bukti-bukti empiris.