Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Petak Umpet dan Perkembangan Kemandirian Anak

Kompas.com - 17/09/2018, 09:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Anak saya mengatakan kalau setiap hari Senin sampai Jumat dia selalu menanti-nanti hari Sabtu dan Minggu. "Kenapa?" tanya saya. “Karena aku bisa main sama ayah” katanya.

Memang setiap akhir minggu saya sering diminta berjanji pada anak saya. “Yah, besok Sabtu kita main petak umpet ya.” “Ya,” jawab saya pendek saja. “Janji!” katanya lagi sambil menyodorkan kelingkingnya. Saya diharuskan "bersalam kelingking" sebagai wujud kesungguhan saya akan benar-benar main "petak umpet" di hari Sabtu depan.

Mungkin karena tidak jarang hari Sabtu saya ada pekerjaan, ada keperluan, atau harus melakukan sesuatu. Kalau sudah begitu, anak saya akan mecucu, cemberut. Jadi "janji kelingking" tadi krusial benar bagi anak saya. Padahal ketika itu baru hari Selasa.

Uniknya, setiap minggu. Di antara permainan-permainan kami (saya dan anak saya), seperti
lompat kodok, dakon (yang paling saya suka, karena bisa dilakukan sambil duduk), main sepeda, kejar-kejaran, dan lain-lain, ada satu permainan yang wajib ada, selalu diminta anak saya. Petak-umpet.

Peran penting permainan bagi anak

Di rumah kami yang mungil itu kita bermain Petak-umpet. Semakin hari saya semakin sulit mencari dimana anak saya sembunyi. Dia semakin mahir sembunyi, bisa di dalam lemari, di kolong mobil, di bawah tumpukan baju, dan tempat-tempat lain yang susah saya duga. Bahkan pernah di luar rumah.

Sebaliknya kalau giliran saya, yang berbadan lebar ini, anak saya semakin hari semakin mudah menemukan saya yang bersembunyi di situ-situ saja. Suatu kali di hari sabtu yang sepoi-sepoi, anak saya giliran sembunyi. Saya yang sebenarnya mengantuk berat, dapat giliran tutup mata sambil tiduran di karpet kamar tamu.

Tiba-tiba badan saya diguncang-guncang sambil kaget “Ayah! Aku udah sembunyi kok nggak dicari siih?!!!” teriak anak saya protes. “What? Lho udah sembunyi?”. Lalu Istri saya muncul sambil cekikikan, ternyata anak saya keluar dari persembunyian karena mendengar dengkuran saya. Saya bukannya mencari, malah ketiduran dan anak saya sudah sembunyi di dalam lemari tertutup hampir setengah jam lamanya.

Dari sudut pandang anak, bermain itu penting. Sama pentingnya dengan bekerja mencari nafkah, atau mengurus rumah tangga dari sudut pandang orang tua. Jadi, permainan-permainan ini juga berperan penting dalam membentuk mental dan kepribadian anak. Termasuk petak-umpet.

Menumbuhkan keberanian dan kemandirian

Saya sebenarnya memperhatikan, semakin besar, semakin berani pula Ica berlama-lama sembunyi di dalam maupun di luar rumah. Padahal sebelumnya keluar kamar untuk mengambil minum di kulkas saja merengek minta ditemani karena takut ketemu monster.

Saya menduga salah satu efek dari permainan ini membuat anak semakin mandiri dan meningkatkan minat eksplorasi. Mandiri untuk mengambil keputusan, ada banyak tempat untuk sembunyi di area rumah, di dalam maupun di halaman.

Anak harus menentukan dengan cepat, karena waktu terbatas, biasanya maksimum 30 detik. Keberanian juga terbentuk karena anak mau tidak mau harus tidak terlihat, persembunyian makin sempurna bila tempatnya semakin sempit dan semakin gelap.

Dalam jangka waktu tertentu, bisa sampai setengah jam seperti kasus saya ketiduran di atas, anak sendirian di tempat persembunyian, berusaha untuk tidak bergerak dan bersuara supaya semakin susah ditemukan.

Penelitian tentang petak umpet

Rupanya Shirah Vollmer, profesor psikiatri dari University of California juga setuju dengan dugaan saya. Menurutnya, anak sangat menyukai permainan Petak-umpet karena tiga hal.

Pertama anak ingin bersembunyi mendorong anak untuk lebih otonom, mereka ingin mengeksplorasi lingkungan di sekitarnya dan ingin membuktikan bahwa mereka bisa melakukannya sendiri.

Kedua ketika sudah bersembunyi mereka ingin dicari, ingin ditemukan. Ada perasaan menegangkan, menguji adrenalin ketika lawan bermain mulai mencari-cari dimana dirinya sembunyi. Perasaan senang kemudian muncul ketika ditemukan.

Ketiga anak kemudian belajar bahwa interaksi sosial bisa terputus, ketika salah satu
orang yang disayangi hilang atau terpisah. Namun situasi itu hanya sementara, karena pada akhirnya yang dicari dan yang mencari bisa bertemu kembali.

Dalam permainan petak-umpet, situasi terpisah (separation) dan pertemuan (reunification) ini terjadi berulang-ulang mengajarkan anak bahwa suatu saat bisa berpisah dengan orang terdekatnya, namun hal ini tidak untuk selamanya. Karena pada saatnya akan bertemu kembali.

Hal positif dalam Ciluk-Ba...

Satu hal yang saya rasakan adalah ketika anak saya dengan cepat bisa beradaptasi ketika berangkat sekolah tidak harus diantar sampai ke depan kelas, atau mau ikut bus jemputan sekolah tanpa harus diancam ini-itu, meski awalnya merengek kalau diantar harus sampai depan kelas.

Pada bayi, sampai dengan usia 18 bulan, permainan petak-umpet ini dinamakan permainan
ciluk-ba. Menurut Prof. Vollmer permainan ini juga memiliki efek positif sama.

Otak bayi berbeda dengan otak anak-anak. Bayi memproses informasi secara temporer. Semua hal yang tidak dia lihat, dia dengar, atau dia rasakan akan dianggap tidak ada, hilang. Bayi menganggap sesuatu itu ada hanya ketika dia lihat.

Begitu pula dalam permainan ciluk-ba. Wajah Ibu yang tiba-tiba tertutup dipersepsikan bayi bahwa Ibu hilang, tidak ada lagi disitu (separation). Beberapa detik kemudian “Baaa..” wajah Ibu muncul kembali (reunification).

Ketika permainan ini sering dilakukan. Bayi akan terbiasa bahwa tidak setiap saat ayah atau bunya ada di depannya. Kalau tidak ada faktor lain yang mempengaruhi (misalnya lapar, buang air, atau merasa sakit), kemungkinan bayi menangis akan menurun ketika ditinggal (Ciluuk..) orangtuanya sebentar.

Sebaliknya bayi akan merasa aman, bahwa tidak lama lagi orangtuanya akan muncul lagi. Baaa…

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau