KOMPAS.com - Komunikasi merupakan hal penting dalam organisasi. Dalam survei global dilakukan McKinseyCompany Maret 2018 menyatakan salah satu kompetensi (future skill) penting harus dimiliki untuk bisa menghadapi tantangan masa depan yang semakin cepat berubah (agile) adalah kemampuan komunikasi dan negosiasi.
Salah satu upaya organisasi, dalam hal ini perusahaan, untuk meningkatkan komunikasi dan keterbukaan anggota adalah dengan mendesain ulang arsitektur ruang kerja. Ruang kerja tanpa sekat atau “open office” kemudian menjadi tren di banyak perusahaan.
Bahkan tiga perempat perusahaan besar di Amerika Serikat membongkar arsitektur lama ruang kerja kubikel berupa bilik-bilik kecil menjadi ruang kerja “open office”. Harapannya, ruang kerja terbuka tanpa sekat karyawan menjadi lebih sering berinteraksi dengan rekan kerja, lebih terbuka dalam komunikasi, dan semakin sedikit hal-hal ditutup-tutupi.
Begitu pula di Indonesia, ruang kerja “open office” juga sempat booming dan menjadi trend di mana-mana. Saya sendiri selama kurang lebih 3 tahun pernah bekerja di ruang terbuka semacam ini.
Sambil bekerja di depan laptop, saya bisa melihat sekaligus mendengar apa yang dilakukan dan dibicarakan semua rekan kerja yang ada di depan, di kanan, dan di kiri saya. Beruntung belakang saya jendela.
Awalnya sempat tidak nyaman, namun semakin lama semakin tidak nyaman lagi. Bekerja menjadi tidak fokus, lebih banyak mendengar gosip dibandingkan diskusi mengenai pekerjaan.
Ketika saya coba sampaikan mengenai hal ini, supaya dievaluasi desainnya, pihak manajemen mendengar dan menampung usulan saya. Sampai kemudian saya pindah tempat kerja, usulan saya nampaknya masih ngendon di tempat penampungan.
Mungkin Anda pernah mengalami hal yang sama?
Tapi bagaimana bila yang mengusulkan evaluasi desainnya adalah Ethan S. Bernstein? Ia adalah profesor perilaku organisasi dari Harvard Business School dan Stephen Turban konsultan organisasi McKinsey Company yang juga peneliti Universitas Harvard.
Kedua peneliti ini melakukan penelitian pada dua perusahaan besar yang masuk dalam daftar Fortune 500 Companies. Dalam studi ini total 152 karyawan dari dua perusahaan ini memakai “sociometric badges”, yaitu kartu tanda pengenal elektronik yang harus dipakai setiap hari selama penelitian berlangsung.
Para karyawan menggunakan kartu pengenal elektronik tersebut selama beberapa minggu sebelum kantor dibongkar dan didesain baru dengan arsitektur “open office”. Tiga bulan setelah desain kantor baru selesai, penelitian dilakukan lagi selama beberapa minggu juga.
Kartu pengenal ini dilengkapi mikrofon, sensor infra-merah, sensor accelerometer, dan bluetooth. Mikrofon digunakan untuk mendeteksi apakah subyek penelitian berbicara atau mendengar (tidak merekam isi pembicaraan), sensor infra-merah untuk mendeteksi apakah subyek berhadapan dengan orang lain (sesama karyawan), sensor accelerometer untuk merekam pergerakan dan postur tubuh, kemudian data yang terakhir direkam melalui bluetooth, yaitu untuk melihat lokasi subyek di area kantor.
Kedua peneliti ini menerbitkan hasil penelitian Juli 2018 dengan judul “The impact of the ‘open’ workspace on human collaboration”. Dari data yang dikumpulkan, mereka menyimpulkan desain ruang kerja terbuka atau “open office” bukannya meningkatkan interaksi dan komunikasi karyawan, namun justru sebaliknya.
Kecenderungan komunikasi dan interaksi tatap muka (face-to-face) pada ruang kerja terbuka menurun drastis hingga 70% bila dibandingkan desain ruang kerja sebelumnya (cubicle).
Mayoritas komunikasi dan interaksi justru naik pada interaksi elektronik (email, pesan instan seperti sms atau Whatsapp). Artinya, semakin terbuka ruang kerja komunikasi antar karyawan cenderung semakin semakin tertutup.