KOMPAS.com - Secara rutin setiap tahun HSBC, melakukan survei global terkait dalam bidang pendidikan dalam "The Value of Education, The Price of Success". Survei ini memetakan apa yang menjadi harapan orangtua terhadap pendidikan anak dan juga bagaimana perilaku atau pola orangtua dalam mengatur biaya pendidikan anak.
Menariknya, tahun ini survei HSBC melibatkan responden dari pelajar untuk mengetahui lebih jauh kebiasaan mereka dalam menempuh pendidikan.
Survei global tahun ini melibatkan 10.478 orangtua dan 1.507 mahasiswa dari 15 negara. Khusus untuk Indonesia, survei mengambil responden dari 1.001 orangtua dan juga 100 mahasiswa.
Terkait hal tersebut HSBS menggelar seminar dengan tema sama, "The Value of Education, The Price of Success" di Jakarta (25/9/2018) dan menghadirkan beberapa narasumber terkait diantaranya, Steven Suryana (SVP and Head of Wealth Management), Ina Liem (pakar edukasi) serta Karin Zulkarnaen (Head of Market Management Allianz).
Kepada Kompas.com Steven menyampaikan survei HSBC Value of Education terbaru menunjukkan 60% orang tua di Indonesia mempertimbangkan untuk mengirimkan anaknya studi di luar negeri.
Baca juga: Membangun Energi Persahabatan lewat Pendidikan
"Akses informasi yang lebih terbuka mendorong anak dan orangtua memiliki impian agar anaknya mendapat eksposur pendidikan global dengan beragam alasan mulai dari belajar bahasa, pengalaman internasional, menumbuhkan kemandirian hingga menambah rasa percaya diri anak," jelas Steven.
Steven menambahkan, secara finansial orangtua telah melihat pendidikan sebagai sebuah investasi yang berharga bagi anak. "73% percaya universitas internasional dapat memberikan jaminan pekerjaan setelah lulus dan 55% meyakini bahwa studi internasional dapat membuat jenjang karir lebih baik," ungkap Steven.
“Namun kebutuhan kuliah yang tinggi menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi kebanyakan orangtua di Indonesia. Sebanyak 34% orang tua yang anaknya kuliah khawatir tidak memiliki sumber daya keuangan yang baik untuk mendukung perkuliahan anak mereka. Selain itu 50% orang tua juga mempertimbangkan biaya kuliah di luar negeri akan lebih mahal dibandingkan di dalam negeri,” lanjut Steven.
Steven juga menyampaikan hasil survei yang menyatakan rata-rata kuliah di universitas internasional akan menghabiskan biaya pendidikan total lebih dari Rp 1 milyar.
"Pelajar di Indonesia rata-rata memerlukan Rp 142,2 juta per tahun untuk kebutuhan uang kuliah dan kehidupannya, sedangkan orangtua hanya memperkirakan pengeluaran total anak berkisar di Rp 84,4 juta. Terdapat perbedaan sebesar Rp 57,8 juta kebutuhan perkuliahan anak dengan dana yang telah disiapkan oleh orang tua mereka," kata Steven saat membandingkan hasil survei antara orangtua dan anak.
Steven menambahkan, perbedaan ini dapat terjadi karena orangtua hanya memperhitungkan biaya pendidikan dasar saja seperti uang semester sedangkan anak memasukan seluruh pembiayaan termasuk gaya hidup mereka.
"Demi menutupi kebutuhan perkuliahan ini, tidak sedikit dari orangtua rela melakukan beberapa pengorbanan. 69% orangtua yang disurvei mengurangi kesenangan mereka dalam rangka menghemat demi biaya kuliah anak, 54% menyatakan bahwa mereka mengambil pekerjaan tambahan demi menutupi kebutuhan tersebut," kata Steven.
Hasil survei lain menyatakan 48% orangtua mencari liburan yang lebih hemat, sedangkan 47% mengurangi liburan, hobby and waktu pribadi.
Di sisi lain 4 dari 5 pelajar di Indonesia (80%) menyatakan mereka melakukan pekerjaan sambilan selama masa kuliahnya guna memperoleh tambahan uang, serta mencari pengalaman.
Dalam perspektif yang berbeda, pakar pendidikan Ina Liem menyampaikan selain soal finansial sangat penting untuk melihat karakter setiap anak.
Ina menambahkan, dalam survei yang dilakukan lembaganya, Inadata, terhadap 1.333 siswa dan mahasiswa hampir 80% memiliki karakter "indiffrent" yang ditandai dengan sikap masa bodoh, cuek, mencari kenyamanan dan kurang mempunyai daya juang.
"Hal ini terkait dengan pola asuh, terutama orangtua kalangan atas yang membereskan semua urusan anak. Mulai dari urusan kuliah, asrama, sampai pesan makan semua disiapkan oleh orangtua," jelas Ina.
Hal ini diperkuat hasil survei lain dari Inadata terhadap 2.475 siswa dan mahasiswa di kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang dan Bali.
Sistem pendidikan Indonesia dan juga pola asuh oramgtua masih menempatkan kemampuan siswa kita sebagain besar (52%) masih berada di kemampuan logis dan sisanya (36%) mampu bersikap kritis dan hanya sedikit yang mampu memecahkan persoalan secara kreatif atau inovatif (12%).
Untuk itu Ina berharap agar anak dan orangtua dapat duduk bersama dalam memilih pendidikan yang tepat untuk anak. "Jangan memilih hanya karena kemampuan finasial atau karena ekspektasi orangtua saja," imbau Ina.
Dalam kesempatan sama, Karin Zulkarnaen dari Allianz Life Indonesia menekankan pentingnya orangtua untuk melakukan perencanaan keuangan dalam pendidikan anak.
"Nilai inflasi pendidikan di Indonesia sangat tinggi mencapai angka 15% pertahun sedangkan di luar negeri rata-rata hanya 3%. Hal ini disebabkan karena tingkat persaingan yang tinggi dalam pendidikan," ungkap Karin.
Sedangkan, tambah Karin, angka peningkatan gaji hanya berada di angka 5%. Ini tentu saja menimbulkan gap yang sangat tinggi," tambahnya.
Untuk itu Karin mengimbau agar orangtua untuk mulai berani berhitung untuk besaran pendidikan nantinya. "Meski masih dalam bentuk perkiraan atau prediksi hal itu akan membantu orangtua dalam membuat perencanaan keuangan," ujarnya.
Melalui perencanaan tersebut, orangtua dapat memilih beragam program investasi keuangan yang tepat dalam mencapai target biaya pendidikan tersebut. "Tentunya orangtua tetap harus realistis sesuai kemampuannya dalam memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak," tutup Karin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.