KOMPAS.com - Saya ingat betul, jelas sekali meski sudah terjadi 12 tahun lalu. Pagi itu, Sabtu, 27 Mei 2006, saya bangun Pk. 05.30 WIB, lebih pagi dari biasanya karena ada jadwal wawancara di sebuah kampus Pk. 07.00 WIB.
Saya ambil handuk siap-siap mandi, kamar mandi masih dipakai adik yang pagi itu juga masuk sekolah. Tiba-tiba bumi berguncang hebat. Adik saya yang baru selesai mandi langsung teriak, “Lindu! Gempa!” Bapak juga teriak, “Gempa!”
Ibu dan adik ada di lantai bawah langsung lari keluar. Saya bertahan. Di Jogja sering terjadi gempa dan biasanya tidak lama. Saya percaya dengan bangunan rumah kami. Bapak saya lulusan teknik sipil, konsultan pemerintah kota untuk menghitung bangunan tahan gempa.
Tapi kali itu berbeda, 5 detik, 10 detik, 20 detik... Bumi masih terus berguncang.
Saya jadi agak panik, untuk keluar saya merasa sudah terlambat. Ibu dan adik saya pasti sudah sampai tanah lapang sekitar 100 meter di selatan rumah. Mau keluar, di depan rumah ada bangunan kos-kosan dua lantai, sebelah rumah ada dinding rumah tetangga yang tinggi.
Bukannya keluar, saya justru naik ke loteng. Berpegangan pada kolom atau tiang terkuat. Kurang lebih selama 20 detik saya disitu melihat horor secara langsung, rumah-rumah berderak-derak, bangunan runtuh dan genteng berhamburan.
Gempa berhenti. Rupanya dari tadi Bapak mencari-cari saya dan menemukan saya dengan wajah tegang. Saya tidak mendengar sama sekali teriakan-teriakan Bapak. Yang saya dengar hanya suara gemuruh menakutkan.
Alhamdulillah rumah saya utuh. Rumah tetangga persis di samping rumah runtuh, bangunan kost di depan rumah genteng berhamburan. Benar dugaan saya, ibu dan adik saya sudah aman di lapangan dekat rumah.
Tanpa pikir panjang, tanpa mandi saya ambil motor. Saat saya telah pastikan keluarga selamat, pikiran saya langsung menuju rumah nenek, kedua nenek saya baik dari Ibu maupun dari Bapak tinggal di kota bagian selatan, berbatasan dengan kabupaten Bantul, pusat gempa.
Horor belum selesai. Di jalan sirine meraung-raung. Korban gempa berlumuran darah dibawa dengan mobil-mobil bak terbuka, bersama tubuh-tubuh kaku yang hanya ditutup kain sarung atau daun pisang.
Orang-orang di jalan berteriak “Tsunami! Tsunami! Air sudah sampai tugu jogja!” Saya tidak percaya sama sekali. Kalau sampai tugu berarti rumah nenek sudah habis. Rumah-rumah hancur. Kampus tempat saya wawancara pagi itu juga sudah runtuh.
Mayat-mayat tertutup terpal ditaruh di tepi jalan. Pikiran saya makin tidak karuan. Rumah nenek saya keduanya utuh, mereka selamat tapi rupanya sudah mengungsi. Rumah kosong. Alhamdulillah, saya mengucap syukur berkali-kali. Siang itu ketegangan saya berkurang. Saya lalu menjadi relawan dadakan sampai beberapa minggu setelah gempa.
Sampai detik ini, saya masih berdebar-debar kalau merasakan gempa meskipun getarannya sangat kecil. Saya tetap bisa merasakan.
Para penyintas bencana alam sebagian besar tidak akan bisa melupakan apa yang terjadi, yang dilihat, didengar, dirasakan ketika bencana terjadi. Saya mengalami langsung kengerian gempa Jogja bulan Mei 2006 yang menewaskan 6.234 orang dan letusan gunung merapi bulan Desember bulan Oktober 2010 yang mengambil nyawa 353 orang, termasuk paman dari pihak istri saya.
Ingatan dan sensasinya akan terus menempel dan menghantui. Mungkin seumur hidup. Situasi ini apabila tidak diatasi akan menimbulkan stress. Kalau gejala makin parah, penyintas akan mengalami gangguan psikologis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Mungkin dari segi fisik sehat, selamat dari bencana, tapi pengalaman melihat rumah yang runtuh karena gempa, gelombang tsunami yang dahsyat, kehilangan anggota keluarga, melihat orang-orang terluka, mayat bergelimpangan bisa membuat jiwa seseorang terguncang.
Gejala tidak akan terlihat dalam waktu dekat, tapi dalam jangka panjang seseorang dengan PTSD akan mengalami trauma psikologis seperti mimpi buruk, kesulitan mengontrol emosi, mudah marah dan tegang, sulit tidur, merasa bersalah, pesimistik, ataupun sering merasa ketakutan.
Pada anak-anak gejala bisa dilihat misalnya sering mengompol, tidak bicara dalam waktu lama, terlihat ketakutan, dan merasa tidak aman bila tidak ada orangtua atau orang terdekatnya.
Pendampingan sebaiknya dilakukan tidak lama setelah kejadian bencana terjadi. Tujuh belas ribu orang yang mengungsi akibat bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala Jumat, 28 September kemarin yang tersebar di berbagai tempat pengungsian sangat rentan mengalami PTSD.
Selain melakukan penyelamatan korban dan pemenuhan kebutuhan pokok, sebaiknya pemerintah dan relawan juga menyiapkan psikolog untuk mendampingi korban gempa. Korban selamat yang didampingi secara psikologis akan lebih produktif, menularkan sikap yang positif, dan dapat membantu pemulihan bencana secara lebih cepat.
Kalaupun tidak ada psikolog. Kita bisa melakukan terapi sederhana seperti “Talk Therapy" atau terapi bicara, ngobrol. Keheningan dalam suasana bencana, mungkin enggan berbicara karena ingin berempati justru bisa memperburuk situasi dalam jangka panjang.
Saya bersama sebuah lembaga internasional pernah melakukan pendampingan pada para penyintas bencana gempa Jogja selama 6 minggu.
Berikut beberapa hal yang pernah saya lakukan dan mungkin bisa diterapkan juga pada para penyintas gempa dan tsunami Palu dan Donggala.
1. Pikirkan tujuan pribadi Anda, dalam jangka panjang apa yang ingin anda lakukan. Misalnya pulang, bekerja kembali, dan memperbaiki rumah. Pecah tujuan jangka panjang menjadi beberapa tujuan jangka pendek, misalnya apa yang akan dilakukan di pengungsian.
Misalnya dalam dua minggu ke depan akan fokus memastikan kondisi semua anggota keluarga besar. Atau bagaimana cara mendapatkan bantuan kebutuhan pokok. Tentukan tujuan jangka pendek berikutnya apabila tujuan pertama sudah tercapai.
2. Bersama keluarga, atau bersama pengungsi yang lain. Buatlah aktivitas fisik sederhana, seperti senam pagi. Ini penting untuk mengurangi stress dan mengalihkan sejenak kesedihan atau pikiran negatif. Kalau perlu usulkan pada penanggung jawab pengungsian.
3. Carilah teman untuk berbicara, bisa keluarga atau orang lain yang membuat Anda nyaman. Bicarakan perasaan Anda dan dengarkan juga apa yang disampaikan lawan bicara Anda. Ajak juga lawan bicara untuk menentukan tujuan jangka panjang dan jangka pendek
4. Percaya bahwa semua bisa kembali normal secara bertahap, bukan instan.
5. Sibukkan diri dengan aktivitas-aktivitas positif seperti membantu para relawan untuk menyampaikan informasi positif, membantu aktivitas fisik, ikut terlibat di dapur umum, atau aktivitas lain sesuai keahlian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.