KOMPAS.com – Pemerintah Australia melalui Associate Prof. David Evans dari Sydney Univeristy melakukan kerja sama serius dengan pemerintah Indonesia dalam bentuk pemberian beasiswa kepada 15 Peneliti Tindakan Kelas (PTK) di negeri ini.
Dengan beasiswa tersebut mereka bisa meneliti lebih dalam tentang inklusi Sydney University Australia. Pemberian beasiswa itu tak lepas dari begitu gigihnya Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Taman Kanak-kanak (TK) dan Pendidikan Luar Biasa (PLB) dalam menjajaki pendidikan inklusi di Tanah Air.
Dalam rilis yang Kompas.com terima, Senin (1/10/2018), PPPPTK TK dan PLB ditunjuk untuk menyeleksi 14 orang yang berhak mendapatkan beasiswa tersebut ditambah 1 peserta dari hasil seleksi internal Sydney University.
Dari jumlah tersebut tercatat 4 orang merupakan pegawai PPPPTK TK dan PLB, 8 orang guru dan Kepala Sekolah TK, 2 orang guru Sekolah Luar Biasa (SLB), serta 1 orang dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
BACA JUGA: Ribuan Guru SD Berebut Ikut Diklat Pelatihan APMS
Mereka berhasil terjaring dan diberikan kesempatan untuk mengkaji dan belajar langsung dari para pakar inklusi di Australia dalam bentuk short course “Achieving Education for all Through Indonesian-Australian Collaborations."
Lima belas orang yang tergabung dalam skema Australian Awards Fellowship ini pun mendapat biaya penuh (fully funded) dari pemerintah Australia. Fully funded ini mencakup biaya course, akomodasi, transportasi pulang pergi, dan biaya hidup (living cost) selama tiga minggu belajar di Australia.
Tercatat selama 3 minggu ini pula para pakar inklusi secara bergantian memberikan pengetahuan dan wawasan baik dari segi teori, kebijakan, sampai ke praktek setting kelas inklusi yang dijalankan di Australia.
Manfaat penerapan pendidikan inklusi di TK
Menurut salah seorang pakar inklusi di Sydney University, Dr Amanda Niland, menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di sekolah TK mempunyai 4 keuntungan tersendiri. Apa itu?
Pertama, semua anak akan belajar keterampilan bahasa, sosial, bermain dan beripikir dari interaksi antar siswa. Kedua, bagi anak reguler, mereka belajar untuk bersikap empati dan memahami perbedaan.
Ketiga, anak-anak merasakan perasaan saling memiliki yang lebih kuat. Kemudian keempat, anak-anak bisa menunjukkan cara bagi orang dewasa.
BACA JUGA: Menuju Indonesia Emas 2045, Kemendikbud Latih Guru Daerah Terpencil
“Kita tidak ingin sesumbar menjadi sekolah inklusi namun dalam praktek pembelajaran di kelasnya ABK hanya menjadi penonton proses kegiatan belajar mengajar (KBM) atau bisa jadi menyendiri di pojokan tanpa ada yang peduli,” ucap Amanda.