KOMPAS.com - Tahun ajaran 2019-2020 masih 9 sampai 10 bulan lagi. Masih tahun depan. Namun orangtua sudah mulai panik, khususnya mereka yang memiliki anak berusia 7 atau 6 di tahun mendatang.
Sekolah, khususnya sekolah swasta sudah mulai melakukan “open house”, bahkan sejak bulan September tahun 2018 untuk pendaftaran tahun 2019. Para orangtua mulai gelisah dan terburu-buru.
Mereka berbondong-bondong mendatangi sekolah-sekolah swasta favorit, berburu brosur, bertukar gosip, dan saling membanggakan sekolah sasarannya.
“Saya sudah daftar loh mbak di SDIT MajuMundur, di sana gedungnya bagus, fasilitas lengkap, kurikulumnya Cambridge dan Oxford sekaligus”. Pihak sekolah pun cerdik memanfaatkan situasi, baliho-baliho besar dipajang di perempatan jalan.
Spanduk-spanduk bergambar siswanya berprestasi dipajang berdesakan memenuhi pagar sekolah. Si A menang olimpiade fisika tingkat kecamatan, si B juara 3 lomba menyanyi, dan lain-lain.
Untuk anak, tebal tipis dompet tidak masalah. Uang bisa dicari. Pihak sekolah tahu benar hal ini, sehingga uang pangkal masuk SD bisa sampai puluhan juta. Iya, puluhan juta.
Supaya orangtua lebih mantap, gedung dibuat megah, bahasa Inggris sebagai pengantar, ada trip keluar negeri, pengajar asing, dan lainnya. Uang pangkal tidak kalah dengan biaya S2 di perguruan tinggi terkenal. Belum SPP per bulan, ada yang lebih tinggi dari UMR (Upah Minimum Regional) daerahnya.
Ada uang ada barang. Produk asuransi pendidikan pun menjadi produk unggulan perusahaan asuransi. Student loan, pinjaman pendidikan pun mulai banyak terdengar. Kalau perlu untuk bayar sekolah, bisa hutang dulu.
Tidak hanya itu, karena pendaftar gelombang satu pun membludak tentu sekolah ingin menerima siswa paling pintar, paling cemerlang dari para pendaftarnya. Semakin moncer anak didiknya, semakin mudah mengklaim sekolahnya mencetak anak-anak berprestasi. Tentu, makin banyak pula spanduk prestasi bisa nangkring di depan sekolah.
Untuk itu sekolah melakukan seleksi, atau observasi, atau apapun namanya. Intinya, anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis, jangan harap bisa sekolah favorit ini. Anak yang sudah bisa membaca, menulis, berhitung (calistung) kemudian lebih diprioritaskan dibandingkan anak yang belum bisa.
Padahal jelas dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pasal 69 ayat 5 disebutkan penerimaan siswa baru SD kelas 1 atau sederajat tidak didasarkan pada hasil calistung atau bentuk tes lain.
Penerimaan siswa baru hanya mempertimbangkan dua hal yaitu usia (6 tahun ke atas) dan kedekatan jarak sekolah dengan rumah. Artinya seleksi yang dilakukan sekolah pada calon siswa didiknya adalah illegal.
Fenomena di atas terjadi karena sekolah sudah menjadi industri. Siswa menjadi komoditasnya. Tujuan pendidikan bukan lagi memberikan ilmu pengetahuan dan kecakapan mencakup budi pekerti (karakter) serta tuntunan bertumbuh sesuai kodratnya. Tujuan pendidikan ini disampaikan Ki Hajar Dewantara pada artikelnya berjudul “Dasar-dasar Pendidikan” terbit pada majalah “Keluarga” bulan November 1936.