KOMPAS.com - Lembaga Riset Internasional McKinsey Global Institute memprediksi Indonesia menjadi dengan kekuatan ekonomi nomor 7 di dunia pada tahun 2030 setelah China, Amerika Serikat, India, Jepang dan Brasil dan Rusia.
Hal ini karena Indonesia memiliki pasar domestik sangat luas, sumber daya kaya dan bonus demografi yang akan dinikmati 10 tahun yang akan datang. Namun demikian, Indonesia perlu memastikan tenaga kerja Indonesia memiliki daya saing dengan kompetensi abad 21.
Tantangan menyiapkan lulusan berkompetensi global ini menjadi topik dalam diskusi antara Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Asian Development Bank (ADB) melalui program PEDP (Polytechnic Education Development Project) dan Badan Nasional Sertifikat Profesi (BNSP) di Jakarta, 22 Oktober 2018.
Diskusi menghadirkan pembicara utama, dari setiap lembaga yakni; Paristiyanti Nurwandi (Direktur Pembelajaran Kemenristekdikti), Sutarum Wiryono (Senior Project Officer Education) dan Sumarna Abdurahman (Ketua BNSP).
"Bila ingin mencapai impian tersebut, kita harus menyiapkan setidaknya 115 juta tenaga kerja terampil di tahun 2030. Itu artinya kita harus mampu mencetak setidaknya 2 juta tenaga terampil setiap tahunnya," ungkap Paristiyanti Nurwandi.
Baca juga: 50 Tahun ATMI Surakarta, Kobarkan Api Vokasi
Padahal, lanjut Paristiyanti, politeknik kita saat ini baru mampu menghasilkan lulusan sebanyak 200 ribu orang setiap tahun. "Pendidikan tinggi hanya menghasilkan 1,5 juta lulusan pertahun," tambah Paristiyanti.
Tantangan lain, menurut Sumarna Abdulrahman, masih belum sinerginya dunia pendidikan dan dunia industri khususnya dalam standar kompetensi dan sertifikasi sebagai 'senjata' menghadapi persaingan internasional.
"Tiga pilar kompetensi, diklat dan sertifikasi masih belum memiliki pondasi yang kuat dalam fasilitas, koordinasi dan pengakuan atau rekognasi," jelas ketua BNSP ini.
Lebih jauh Samarna menyampaikan, 30% kurikulum kompetensi kita telah kadaluarsa dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan dunia industri. Sebaliknya, dari sisi industri yang biasa diwakili asosiasi kerja masih belum mampu membuat standar dan kurikulum yang betul-betul dibutuhkan bidangnya.
"Akibatnya, banyak serfitikasi kompetensi dan profesi justru tidak mendapat pengakuan industri karena lulusan yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Permasalahan ini menjadi soal 'ayam dan telur' untuk menyelesaikan soal sistem kualifikasi dan sertifikasi," tegasnya.
Lebih lanjut Paristiyanti menyampaikan pihak Kemenristekdikti tengah membuat beberapa terobosan guna menjawab tantangan tersebut.
"Kemenristek tengah mengupayakan regulasi bagi Multi Entry Multi Exit System. Melalui sistem ini nantinya akan memfasilitasi setidaknya 2 juta lulusan SMK dan 62 juta lulusan SMP menjadi tenaga terampil yang akan memenuhi target Bonus Demografi 2030," jelasnya.
Melalui sistem ini, siswa dapat melakukan penyetaraan pendidikan non formal melalui pelatihan-pelatihan yang telah dilalui untuk memperoleh sertifikasi kompetensi kapan saja tanpa harus menunggu lulus terlebih dahulu.
Politeknik dengan akreditasi A juga nantinya akan didorong menjadi 'Klinik Industri' atau center of excellent dalam memberikan modul-modul sertifikasi yang link and macth dengan dunia industri.
"Politeknik dengan akreditasi B yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi juga diarahkan untuk memperoleh kesempatan ini," tambahnya.
Sumarna menambahkan, "Selain industri sebagai focal point, peran pemerintah menjadi sangat penting dalam membangun sistem kualifikasi dan sertifikasi yang mantap. Enforcement melalui regulasi dan pemberian intensif kepada dunia usaha dapat mendorong pengakuan terhadap Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia."
Sutarum Wiryono dari ADB menyampaikan, Kemenristekdikti didukung ADB telah memberikan dana sedikitnya 75 juta USD melalui program PEDP melalui sejumlah langkah strategis untuk diimplementasikan sepanjang tahun 2013-2019.
Salah satunya adalah mengembangkan institusi politeknik sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang dilengkapi Tempat Uji Komptensi (TUK) yang dilisensi BNSP dan badan sertifikasi profesi lain.
Saat ini, sudah ada 43 politeknik di Indonesia telah memiliki LSP terlisensi BNSP di mana 30 politeknik masuk dalam program PEDP.
Selain itu, politeknik pelaksana PEDP telah berhasil memberikan rekognisi dosen-dosen dari praktisi industri disetarakan setingkat magister sehingga metode pembelajaran diberikan lebih aplikatif dan relevan dengan kebutuhan industri.