Hanya memiliki “friends” sangat minim. Bisa jadi itu akun kloning yang digunakan buzzer politik memviralkan isu. Ketika sudah yakin akun yang kita ajak ngobrol bukan akun palsu, punya pemilik benar-benar ada, baru obrolan bisa dilanjutkan.
Seperti ilustrasi di bawah ini :
Bona (bukan nama sebenarnya): Sebenarnya sangat disayangkan ada aksi pembakaran bendera itu. Banser salah. Tapi tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Mereka membakar bendera organisasi terlarang yang diacung-acungkan di depan hidung mereka.
Tentu kita berharap kasusnya akan segera jelas, pihak berwajib juga sudah mengamankan pelakunya. Hati-hati, ini isu sensitif jangan mau diadu domba.
Rong-Rong (juga bukan nama sebenarnya): Lho, kamu itu gimana? HTI tidak punya bendera. Itu bendera tauhid! Mereka melecehkan Islam! Kemana Banser ketika kami membela ulama? Mereka kebanyakan malah menjaga tempat ibadah agama lain! Update informasi dong, jangan sok netral!
Rong-rong merespon dengan emosional, tidak dalam konteks yang sesuai dengan yang disampaikan Bona. Justru menyerang pendapat Bona yang dengan gegabah dianggap “membela” Banser. Obrolan kemudian menjadi tidak efektif dan berpotensi menjadi ajang debat kusir. Rong-rong menekankan pemikiran “kami versus mereka”.
Menurut Prof. Mascolo, serangan personal semacam ini merusak inti diskusi yang ingin dibangun Bona, bahkan menuding Bona tidak peduli dengan agamanya sendiri. Tentu saja hal ini bisa memprovokasi Bona dan melupakan bangunan diskusi yang ingin dibangun di awal.
Bona: Justru HTI yang membajak kalimat tauhid dalam benderanya, seperti juga ISIS, Al-Nusra, mereka mensponsori pemberontakan di Suriah, di Irak, di Yaman. Yang ada hanya kehancuran. Makanya banyakin baca dong! Jangan cuma baca link ga jelas!
Pada titik ini, diskusi sebenarnya sudah tidak ada gunanya. Serangan personal membuat individu semakin defensif, semakin emosional. Ketika itu terjadi. otak berhenti berpikir kritis, yang berfungsi adalah amygdala.
Amygdala adalah bagian otak paling primitif, yang pola pikirnya adalah flight (lari) atau fight (berantem) ketika menghadapi ancaman. Seperti otak rusa atau zebra yang melihat predator.
Kita harus menghadapi kebencian dengan kemauan untuk melihat kenapa seseorang membenci sesuatu, apa motifnya. Untuk menuju ke sana tidak bisa dilakukan tanpa menjaga hubungan personal. Misalnya dengan menawarkan sebuah pertanyaan terbuka.
Bona: Sebenarnya sangat disayangkan ada aksi pembakaran bendera itu. Banser salah. Tapi menurutku tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Mungkin kamu punya pendapat lain. Bagaimana menurutmu Rong-rong? Apakah ada cara supaya kita tidak diadu domba?
Kita bisa perhatikan, materi ingin disampaikan Bona sebenarnya sama, tapi caranya berbeda. Bona menanyakan pada Rong-rong dengan memposisikan sebagai orang sejajar. Tidak lebih tahu.
Dari sana diharapkan Bona lebih tahu apa yang dipikirkan Rong-rong. Meski keduanya tidak saling setuju. Tapi setidaknya keduanya setuju untuk tidak saling setuju. Sehingga diskusi tidak terperosok menjadi konflik tidak perlu.
Dalam istilah jawa “menang tanpa ngasorake”. Menjadi pemenang dengan tidak membuat orang lain merasa kalah. Istilah keren yang mungkin mendekati adalah win-win solution. Selamat berdiskusi.
Sumber :
Czopp, A. M., Monteith, M. J., & Mark, A. Y. (2006). Standing Up for a Change: Reducing Bias Through Interpersonal Confrontation. Journal of Personality & Social Psychology, 90, 784-803
Mascolo, M. F. (2016). The Transformation of a White Supremacist: A Dialectical-Developmental Analysis. Qualitative Psychology, 1-20.