Ahmad Rizali
Pemerhati pendidikan

Pemerhati pendidikan, Kabid Pendidikan NU Circle, dan Presidium Gernas Tastaka

Gaya Doktriner dan Gagalnya Pendidikan Agama Kita...

Kompas.com - 02/01/2019, 11:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Latief

Pendidikan yang doktriner?

Pendidikan umum dan pendidikan agama kita yang semakin hedonis dan mengekor pertumbuhan ekonomi tampaknya telah gagal, karena secara sistemik telah membuat semua anak bangsa hanya ingin menjadi kaisar kaya raya.

Mereka ingin menjadi sangat berkuasa seperti halnya Zulkarnaen Agung, tapi melupakan kemuliaan AlMasih As dan Muhammad SAW, yang berdiri sampai mati di sisi kaum tak berpunya.

Suatu saat, seorang teman bertanya kepada saya tentang hasil temuan sebuah studi dari UIN Jakarta pada 2008 yang mengatakan bahwa "Pendidikan Agama (Islam) di Indonesia, khususnya di Jawa, tidak mendorong perilaku kebinekaan."

Jawaban pertama saya adalah "Tidak mengejutkan, dan bahkan memperkuat hipotesis saya menjadi sebuah tesis".

Saya lalu menambahkan, "Materi dan cara guru agama di sekolah dalam mendidik masih tidak berubah sejak 30 bahkan 50 tahun lalu, yang masih berkutat dan 99 persen fokus pada urusan pribadi. Meskipun agama pada dasarnya adalah sebuah doktrin, namun jika 100 persen materinya disampaikan pula dengan cara yang doktriner, tentulah hasilnya akan hitam-putih, salah-benar, on-off. Mungkinkah kebinekaan akan tumbuh, jikalaupun ada, tentulah hanya kebinekaan pura pura".

Pembelajaran umum yang pada dasarnya bukan doktrin pun, disampaikan dengan cara yang sama. Guru, bahkan dosen sangat piawai menggunakan cara yang deterministik. Semuanya, ya memang "sudah begitu", dan kalau tidak begitu ya dianggap "salah".

Pembelajaran tersebut dimulai dengan mencetak pemikiran kaum balita di PAUD dengan cara berpikir gurunya. Jika memberi warna badan gajah tidak abu-abu atau kecoak tidak dengan hitam, pastilah dikasih nilai "C".

Murid yang mewarnai badan gajah abu-abu dan kecoak hitam mendapat nilai A. Bayangkan berapa nilai lembar mewarnai jika di murid balita itu mewarnai badan gajah colorful seperti "d united color of benneton"?

Pola deterministik guru semacam itu terus berlanjut. Orang tua juga bersikap sama, bahkan masyarakat pun menguatkan. Yang "beribadah" tidak sesuai dengan cara mereka akan "digebukin". Istilahnya, mengikuti gaya bercanda anak Betawi, "'Yang kagak ikut ane, ente semua musuh ane!"

Sejatinya, jika pendidikan dan akhirnya menjadi perilaku dan berujung kepada budaya yang tidak menjunjung hukum alam kebhinekaan (bukankah Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu sama, bahkan manusia kembar sekalipun) atau keberagaman, maka jangan berharap manusianya akan bermental bhineka.

Mungkin, dosa terbesar Soeharto adalah menyeragamkan sesuatu yang seharusnya beragam, mulai baju kerja PNS hingga nama gedung (graha) diseragamkan. Bahkan, doktrin P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pun begitu seragamnya hingga Pancasila yang kemuliaannya sebagai ideologi bangsa tiada taranya, nyaris terbuang seperti sampah.

Bangsa ini menjadi semakin kurang menghargai keberagaman. Salah satunya karena gaya kepemimpinan yang doktriner, keberagaman hukum alam dipaksa menjadi keseragaman hukum manusia. Di titik inilah peran guru menjadi strategis.

Meminjam istilah kang Endo, seorang pendidik pakar etnomusika, "Seharusnya, mendidik itu adalah menjadikan anak manusia menjadi manusia beneran, yang bukan setan dan bukan pula malaikat".

Kang Endo ingin mengatakan, bahwa manusia yang sebenarnya adalah insan kamil yang sebagian dan sangat sedikit adalah seperti (bukan) setan (hitam) dan malaikat (putih) dan paling banyak adalah diantaranya (abu abu).

Jadi, jika pendidikan memaksa kita menjadi malaikat dan setan, pastilah keberagaman akan mustahil terjadi. Ya, karena cuma ada dua pilihan, tidak ada area abu abu di mana 99 persen manusia berada, dimana determinisme tidak laku karena melanggar hukum alam. Gagalkah pendidikan kita?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau