KOMPAS.com — Ikatan Studi Jerman Universitas Indonesia (ISJ UI) mengadakan seminar mengenai “Kenali Kekerasan Berbasis Gender Online dan Cara Lindungi Diri” di Auditorium Gedung X Fakultas Ilmu Budaya UI (FIB UI) (14/3/2019).
Seminar ini membahas isu seksualitas, terutama revenge porn yang merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual di dunia maya. Seminar ini diadakan untuk menambah pengetahuan para peserta dalam memahami isu kejahatan seksual sehingga dapat menjaga dirinya di dunia nyata dan di dunia maya.
Salah satu pembicara seminar Nadya Karima Melati (alumnus FIB UI dan salah satu pendiri SGRC) membahas mengenai kekerasan berbasis jender siber dengan memaparkan materi yang berasal dari penelitian Support Group and Resource Center on Sexuality Study (SGRC).
Berikut beberapa fakta terkait revenge porn:
Dikutip dari laman resmi UI, revenge porn merupakan bentuk balas dendam yang dilakukan pelaku terhadap korban dengan menyebarkan konten pornografi korban karena satu dan lain hal. Namun, pada saat ini belum ada terminologi yang cocok di Indonesia untuk menjelaskan revenge porn.
Revenge porn termasuk salah satu bentuk kekerasan seksual berbasis siber karena kekerasan seksual tersebut dilakukan di dunia maya, tetapi memiliki dampak di dunia nyata bagi korban.
Baca juga: Mapala UI Perkenalkan 3 Destinasi Wisata Baru Papua Barat
Kekerasan seksual berbasis siber menyerang seksualitas korban. Biasanya yang menjadi korban dari kasus ini adalah perempuan, laki-laki yang feminin, atau orang yang memiliki orientasi seksual yang minoritas (homoseksual).
”Memang terjadinya online, tetapi dampaknya di dunia offline, dunia material. Yang tersebar identitas kamu secara immaterial, jadi ada identitas kita di sana. Di Jerman, mereka ada right to be forgotten. Di sini untuk privasi itu susah banget, khususnya di dunia digital,” kata Nadya.
Dilihat dari pembuatan kontennya, kekerasan seksual tersebut dapat berupa foto porno, video porno, chat sex, screen shoot, atau paksaan yang dilakukan pelaku agar korban mau melakukan pornografi di depan kamera yang akhirnya disebarkan di dunia maya.
Mayoritas korban yang terkena kekerasan seksual siber revenge porn berada di kisaran usia 15-20 tahun. Pelakunya bisa orang terdekat korban, mantan pasangan korban, atau orang yang tidak dikenal yang me-hacking akun media sosial korban. Bedasarkan penelitian yang dilakukan oleh SGRC, mayoritas pelaku berasal dari orang terdekat korban.
Dalam menangani hal tersebut, SGRC melakukan advokasi kebijakan beberapa RUU dan membuat support group di beberapa kampus untuk menangani korban yang terkena revenge porn sehingga korban mendapatkan keadilan tanpa harus diberhentikan dari sekolahnya.
“Support grup ini berfungsi untuk, pertama, mengeluarkan surat keterangan bahwa dia adalah korban, terus kasih pendampingan psikologis, merujuk ke profesional, terus kami bantuin advokasi ke departemen kemahasiswaan bahwa dia ini adalah korban revenge porn. Yang dia perlukan adalah mendapatkan keadilan, bukan diberhentikan sekolahnya. Jadi semacam kayak gitu,” ujar Nadya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.