Justru yang jadi faktor utama adalah, mereka ingin leader atau atasannya bersikap adil dan transparan.
“Ketiga, milenial sampai generasi ke bawahnya, yakni alfa (tahun lahir 2010-2024) identik dengan digital. Mereka ingin semuanya digital. Namun kenyataan berkata lain. Milenial ingin pergi ke kantor, tetapi yang ada sponsor event,” ucap Andry.
Lebih dari itu, kata Andry, mereka ingin pula bertemu dengan banyak orang, training secara tatap muka, dan bekerja dengan kolega-kolega yang punya pengetahuan banyak.
Keempat, milenial membutuhkan orang banyak untuk mengambil keputusan. Survei menjelaskan bahwa ini memang terjadi disemua generasi dan juga tergantung ke karakter orang masing-masing.
Mitos terakhir menyebutkan, bila milenial akan mudah berpindah-pindah tempat kerja kalau tidak sesuai dengan passion atau ekspektasi.
“Hasil riset menyatakan, generasi milenial (42 persen) punya keinginan itu, generasi x (47 persen) dan baby boomers juga punya (42 persen),” tutur Andry.
Namun, lanjut dia, alasannya utamanya bukan karena passion. Mereka memilih berpindah tempat kerja karena dasar pertimbangan tempat kerja atau perusahaan yang lebih kreatif workspace. Baru setelah itu alasannya karena uang.
Riset terakhir, yaitu dari AC Nielsen. Menurut survei yang dipublikasi pada 2015 ini sebenarnya perbedaan antar masing-masing generasi ada, tetapi hanya lebih ke pergantian prioritas dalam menjalani hidup.
“Penelitian itu menyebutkan responden yang lebih muda biasanya memprioritaskan uang dan mengejar karier. Sementara itu, responden lebih tua lebih prioritaskan tetap fit dan sehat serta menghabiskan banyak waktu buat keluarga,” ucap dia.
Dari situ pun kelihatan bahwa generasi milenial dan z (1995-2010) masih lebih menempatkan teratas urusan uang, karir, sedangkan generasi x dan baby boomers sebaliknya. Kesehatan dan waktu untuk keluarga jadi lebih diprioritaskan.
Meski cenderung sama, tetapi di lapangan kerja tidak bisa seperti itu. Ada faktor-faktor yang membuat masing-masing generasi berbeda, terutama buat golongan milenia.
“Faktor tersebut yaitu, parenting problem, teknologi, impaction, dan environment,” ujar Dekan Fakultas Ekonomi dan Komunikasi Binus, Gatot Soepriyanto yang menjadi pula narasumber dalam diskusi tersebut.
Menurut Gatot, parenting problem yang dimaksud adalah orang tua yang kurang memberikan kasih sayang ke anaknya. Akibatnya mereka jadi rendah diri dan rapuh.
Berangkat dari hal itu, Binus pun ingin melibatkan peran orang tua dalam perkuliahan. Mulai dari pertama kali anak ingin masuk kuliah hingga lulus kuliah.
Contohnya, orangtua dapat memantau nilai dan perkuliahan anak setiap hari melalui sistem online yang hanya dapat orangtua akses.