Perhimpunan Pelajar Indonesia
PPI

Perhimpunan Pelajar Indonesia (www.ppidunia.org)

Meraba Nasib Ujian Nasional Usai Pesta Politik

Kompas.com - 28/04/2019, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di level yang berbeda, nilai UN juga dapat digunakan untuk melamar pekerjaan atau menempati sebuah posisi. Pada titik ini, nilai UN dapat dilhat sebagai tolok ukur bagi peserta didik untuk dapat melanjutkan kariernya, baik melalui universitas maupun bekerja profesional.

Narasi berulang dalam pesta demokrasi

Pada putaran ketiga debat pilpres beberapa waktu lalu, biaya yang tinggi dijadikan salah satu alasan penghapusan UN oleh calon wakil presiden, Sandiaga Uno.

"Kami juga akan menghapus Ujian Nasional. Ini adalah salah satu sumber daya biaya yang tinggi bagi sistem pendidikan kita," ucapnya. Selanjutnya, UN akan diarahkan kepada penelusuran minat dan bakat siswa.

Benarkah UN menjadi salah satu sumber pembiayaan tinggi di pendidikan kita?

Mengutip pernyataan Sekretaris Badan Penelitian dan Penembangan Kemendikbud Dadang Sudiyarto, anggaran UN 2019 berkisar Rp 210 miliar dari tahun sebelumnya sebesar Rp 500 miliar.

Dana yang berkurang dari periode sebelumnya ini terjadi karena sistem UN yang tidak lagi berbasis kertas serta pembiayaan pengawas oleh satuan pendidikan melalui dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).

Lebih lanjut, dengan anggaran Rp 210 miliar untuk UN, maka rata-rata dana operasional per siswa sebesar Rp 55.000. Hal ini jauh lebih efektif jika berkaca pada pelaksanaan UN tahun 2012 yang menelan hingga Rp 600 miliar dengan biaya operasional per siswa sebesar Rp 50.000.

Narasi lainnya dikemukakan calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo. Pada tahun 2014, Jokowi berkampanye bahwa UN bagi pelajar SD dan SMP akan ditiadakan, sedangkan UN bagi SMA digunakan sebagai pemetaan kualitas pendidikan.

Namun, kebijakan itu tidak berjalan sepenuhnya pada masa pemerintahannya, UN tetap dilaksanakan, tetapi hanya dihilangkan fungsinya sebagai satu-satunya tolok ukur standar kelulusan peserta didik.

Ini memperlihatkan perbedaan kacamata bagaimana mereka melihat UN itu sendiri. Sandiaga Uno lebih melihat UN dalam sudut pandang anggaran serta UN sebagai placement test, sementara Joko Widodo pada 2014 lebih melihat UN dalam sudut pandang diagnostic evaluation.

Yang menarik diamati, narasi penghapusan UN muncul menjelang pesta demokrasi alias pemilu. Tepatnya saat kampanye capres-cawapres berlangsung.

Tidak mustahil jika ini kemudian dikaitkan dengan proses perolehan suara oleh pemilih pemula, yang tentu baru saja mengalami suka-duka UN.

Data dari Kompas dan Komisi Pemilihan Umum, misalnya, menegaskan bahwa pada tahun 2014, gabungan angka pemilih pemula (17-20 tahun) dan pemilih muda (17-30 tahun) sekitar 60 juta jiwa.

Hal ini bertambah di pemilu 2019 kali ini dimana jumlah gabungan pemilih pemula dan muda diperkirakan mencapai 100 juta dari 186.379.878 jumlah daftar pemilih tetap.

Akan dibawa ke mana?

Perlu kita akui, UN sendiri sedikit banyak memberikan dampak bagi siswa. Pada beberapa penelitian, UN menimbulkan kecemasan, perasaan gelisah hingga tertekan secara mental.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau