Kejadian nyata yang direka ulang dalam film produksi Jerry Bruckheimer dan Walt Disney, "Remember The Titans" (2000) telah mengajarkan kepada kita betapa menyakitkannya permusuhan yang tak ada ujung pangkalnya.
Kemenangan tim football mereka jadi jawara di negara bagian Virginia tak hanya mengalahkan tim-tim papan atas yang hanya memiliki masalah-masalah teknik.
Lebih dari itu, inilah keberhasilan mereka meruntuhkan sekat-sekat kebencian yang bertahun-tahun ada dan tak seorang pun ingin membicarakannya.
Bukankah pergumulan tim football SMA TC Williams ini tak jauh berbeda dengan pergumulan penduduk desa kecil yang bernama Indonesia ini?
Bagi saya yang lahir dan besar di sini, berbicara tentang Indonesia itu tak pernah membosankan.
Saat saya meninggalkan desa ini untuk waktu yang cukup lama, perlahan saya menemukan bahwa orang-orang Indonesia sangatlah asyik, keren, dan selalu punya alasan untuk bangga menjadi bagian dari desa kecil mereka.
Meski kisah-kisahnya tak selalu tentang asmara yang indah, atau panen raya yang berlimpah, desa ini tak pernah kehabisan kebersahajaannya.
Saat menonton lawakan Srimulat gaya Jawa Timuran, warga desa dari Sabang hingga Merauke tertawa bersama, pun saat mereka melihat begitu harmonisnya tarian Saman asal Aceh yang ditampilkan puluhan penarinya.
Jadi, narasi apa yang menciptakan keraguan bahwa setiap warga Indonesia, bila solid bekerja bersama, akan menjadi sangat menakutkan bagi negeri-negeri lainnya?
Saat mengunjungi Curtin University di Bentley, di luar kota Perth, Australia, beberapa tahun lalu, saya berjumpa dengan banyak mahasiswa asal Indonesia. Hal yang sama juga saya temui di University of Western Australia (UWA) di pinggiran kota Perth.
Kisah-kisah mereka tak seperti kisah-kisah imigran yang mencoba mengadu nasib dan bertahan hidup di tempat baru.
Kisah-kisah para mahasiswa ini jauh lebih mengesankan karena mereka adalah orang-orang terpilih yang berotak encer untuk menimba ilmu di negeri seberang berbekal berbagai beasiswa. Sebagian dari mereka mendapatkan beasiswa dari pemerintah Australia.
Cerita tak berhenti di situ, anak-anak mereka yang "terpaksa" ikut tinggal dan bersekolah di SD hingga SMA di Australia menorehkan catatan yang akan diingat sejarah di negeri ini.
Mereka juara di berbagai sekolah, mengalahkan anak-anak Australia sendiri di sekolah-sekolah yang memaksa setiap muridnya harus fasih berbahasa Inggris.
Berbagai kabar selanjutnya membuat saya merinding, anak-anak muda kita telah menaklukkan kelas-kelas di berbagai sekolah dan kampus-kampus di seluruh dunia: di Singapura, Malaysia, Jepang, Korea, bahkan di kampus-kampus global tak pernah luput dari torehan anak-anak muda kita.