Sekjen PGRI: "Gaduh Zonasi" karena Kurang Libatkan Guru dan Orangtua

Kompas.com - 02/07/2019, 21:35 WIB
Erwin Hutapea,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Dalam sebulan terakhir, dunia pendidikan Indonesia dihebohkan dengan pelaksanaan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2019/2020.

Zonasi merupakan sistem pendaftaran yang mengutamakan calon peserta didik yang domisili atau tempat tinggalnya paling dekat dengan sekolah tertentu memiliki kesempatan lebih besar untuk diterima di sekolah tersebut.

Kuotanya sebesar 90 persen dari jumlah keseluruhan penerimaan peserta didik baru di suatu sekolah.

Sistem ini berlaku di seluruh wilayah Tanah Air, meski pada praktiknya terdapat perbedaan karena ada daerah menerapkan zonasi murni dan ada juga zonasi campuran.

Namun, ternyata dalam pelaksanaannya banyak kekurangan dari sistem zonasi yang dialami masyarakat, termasuk kurangnya persiapan dan sosialisasi, yang dinilai tidak memperhatikan pemegang kepentingan.

Persiapan terkait sosialisasi

Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) M Qudrat Nugraha mengatakan ditinjau dari segi manajemen strategis, para pemegang kepentingan dalam dunia pendidikan tidak hanya instansi, tetapi juga orangtua dan guru.

Baca juga: Kebijakan Anggaran dan Harmonisasi Masih Jadi Batu Sandungan PPDB

“Tugas negara yang seharusnya mengambil langkah sosialisasi yang baik dan menyeluruh agar tercipta kebijakan yang baik dan melibatsertakan para pemegang kepentingan tersebut, tidak melakukan persiapan utuh terkait sosialisasinya,” ujar M Qudrat Nugraha melalui keterangan tertulis, Selasa (2/7/2019).

Dia menambahkan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan masyarakat, dalam hal ini warganet, terkait kebijakan zonasi. Ada yang menilai kebijakan ini penting dengan catatan butuh keseriusan pemerintah untuk membenahinya, tetapi ada pula yang mendukung penuh atas “niat baik” yang dinyatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.

Tidak sesuai kondisi lapangan

Namun, banyak juga yang menilai kebijakan ini terlalu dini untuk diterapkan karena tidak sesuai dengan kondisi kenyataan di lapangan.

Pada praktiknya, kebijakan zonasi dianggap membingungkan para pemegang kepentingan, terutama dalam keterlibatan mereka, sehingga perlu transparansi. Maka dari itu, seharusnya pemerintah dan elite politik bisa melihat berbagai ungkapan kegeraman warganet.

“Penghakiman sosial, terutama dalam dunia maya, dapat menjelma menjadi persepsi umum. Lagi-lagi, kegaduhan ini bukanlah pertanda positif yang dapat begitu saja dijawab dalam wawancara,” ucap Qudrat.

Bagi dia, pengawasan masyarakat memiliki pengaruh yang tidak baik kepada pemerintah. Sebab, dari segi penghakiman sosial, kebijakan semacam ini selalu diawasi oleh semua pihak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau