Budi Wiweko
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia

Merenungkan Perlu dan Tidaknya Rektor Asing...

Kompas.com - 02/08/2019, 17:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

VISI Indonesia tahun 2019–2024 menempatkan pembangunan kualitas sumber daya manusia sebagai prioritas kedua dari lima target pemerintah dalam 5 tahun ke depan.

Riset dan pendidikan tinggi merupakan pilar unggulan yang harus digerakkan dalam mewujudkan visi pemerintah ini.

Salah satu pemikiran pemerintah dalam membangun kualitas perguruan tinggi di Indonesia adalah wacana mendatangkan rektor asing untuk memimpin perubahan yang diharapkan mampu membawa Indonesia ke kancah bergengsi dunia dalam hal peringkat perguruan tinggi.

Pertanyaan pertama yang muncul di benak para dosen dan pimpinan perguruan tinggi di Indonesia adalah, apakah tidak ada lagi sumber daya manusia berkualitas di Indonesia yang bisa menjadi rektor.

Tidaklah mengherankan bila banyak silang pendapat, pro–kontra, mendukung dan tidak mendukung terhadap rencana pemerintah yang masuk dalam kategori inovasi disruptif ini.

Fenomena menarik bila kita melihat ke tetangga kita, Singapura. Dua perguruan tinggi di negara tersebut, yakni National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technology University (NTU), sama-sama menduduki peringkat ke-11 dunia menurut QS World University Ranking tahun 2020.

Apa sebenarnya yang terjadi di negeri ini yang sejak lama sudah sangat agresif dan progresif dalam hal riset serta pendidikan ?

Singapura hanya berpenduduk 5,6 juta jiwa dan sadar sekali pentingnya akselerasi dalam alih ilmu pengetahuan dan teknologi.

Mereka tidak segan-segan merekrut tenaga peneliti asing bereputasi dunia untuk memimpin laboratorium riset dan inovasi di perguruan tinggi mereka.

Tentunya hal ini membutuhkan skema pendanaan besar yang didukung penuh oleh pemerintah.

Kita bisa melihat bagaimana rekam jejak peneliti bereputasi dunia yang membangun dunia riset dan pendidikan tinggi di Singapura. Umumnya mereka pemimpin lembaga riset di negara Eropa, sebagian masih aktif, sebagian lagi sudah hampir memasuki masa pensiun.

Langkah serupa diikuti oleh Brunei Darussalamm, yang aktif mendatangkan para peneliti asing bereputasi dunia ke Universiti Brunei Darussalam (UBD). Sebagian mereka mendapatkannya dari NUS, mengingat hubungan mereka yang erat dalam commonwealth system.

Skema ini cukup sukses mengaktifkan geliat dunia riset dan perguruan tinggi di Brunei sehingga tidaklah mengherankan bila saat ini UBD sudah bercokol di peringkat 298 dunia, hanya selisih 2 peringkat dengan Universitas Indonesia sebagai perguruan tinggi dengan peringkat terbaik di dunia.

Sementara itu, Universiti Teknologi Brunei saat ini sudah menduduki peringkat 379 dunia. Tentu terbayang bagaimana Brunei memainkan strategi yang hampir sama dengan Singapura.

Penentuan peringkat perguruan tinggi dunia dilakukan berdasarkan skor reputasi para dosen, skor reputasi para karyawan, rasio dosen terhadap mahasiswa, indeks sitasi dosen (menerangkan berapa banyak jurnal internasional per dosen yang di-sitasi oleh jurnal internasional lain), jumlah dosen asing serta jumlah mahasiswa asing di perguruan tinggi tersebut.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau