Diaspora Talk 2019: Kekuatan "Ngobrol" Berbagi Inspirasi

Kompas.com - 20/08/2019, 20:48 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Hal senada disampaikan Keni Vidilaseris peneliti postdoc di Departemen Biokimia, Universitas Helsinki, Finlandia. Minat utama penelitiannya adalah penentuan struktur protein dengan menggunakan metode Sinar-X.

Dalam sharingnya, ia mencoba untuk dapat mendesain/mencari senyawa yang secara spesifik bisa menghambat aktivitas protein tersebut. Dengan demikian, seseorang dapat sembuh dari penyakit-penyakit itu tanpa berefek pada tubuh.

Bangun 'mindset' peneliti

Dalam kesempatan sama, Hutomo Suryo Wasisto, Head of OptoSense Group di Laboratory for Emerging Nanometrology (LENA), Braunschweig, Jerman, mengingatkan agar orang muda Indonesia untuk terus mengasah kemampuan berpikir kritis sebagai salah satu modal dasar peneliti.

"Jangan mudah terjebak pada pseudo-science atau fake sains yang terlihat rasional namun padahal bias. Inilah yang justru banyak terjadi di mana hoaks justru diterima karena kurang mengasah kemampuan berpikir kritis," ujar Wasisto yang akrab di panggil Ito.

Ito menjelaskan di Jerman saat anak masuk SD tidak dituntut harus mampu calistung (baca, tulis dan hitung). Sebaliknya, pembelajaran anak-anak justru difokuskan bagaimana mengajak mereka untuk berpikir kritis dan kreatif. 

"Di sini belajar sains justru cari cara mudah, cara gampang. Padahal mindset yang harus dibangun dalam sains harusnya justru menghargai proses dengan berpikir kritis dan sistematis dalam mencari jawaban dari persoalan," tegasnya.

Muhammad Aziz associate professor di University of Tokyo juga mengajak milenial yang hadir untuk melihat proses penelitian sebagai sebuah wadah membuat diri menjadi pribadi yang lebih baik.

Proses penelitian, menurutnya merupakan proses 'mengetahui ketidaktahuan' sehingga riset menjadi proses dinamis yang secara tidak disadari akan memperbaiki dan bahkan menjadi 'loncatan' untuk menjadi pribadi yang lebih berkualitas.

"Eksis boleh tetapi narsis jangan. Orang harus eksis dengan mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya. Jangan narsis yang menganggap dirinya sudah paling baik," pesan Aziz.

Perempuan dalam riset

Semangat 'perempuan super' juga disuarakan Sastia Prama Putri, assistant professor  Departemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University, Jepang. Di Jepang, Sastia bekerja di bawah naungan mentor Prof. Eiichiro Fukusaki yang merupakan salah satu pioneer metabolomik di ilmu pangan.

Di awal paparan, Sastia memberi gambaran bahwa tantangan perempuan di bidang riset dan penelitian jauh lebih berat. Baru sekitar 30 persen peran perempuan dalam riset di dunia, termasuk Indonesia.

"Riset bukan hal yang mudah, dan kegagalan merupakan bagian darinya. Kita harus memiliki mental kuat untuk menjadi peneliti dan semangat positif setiap waktu. Terutama peneliti perempuan, harus ekstra lebih tanggung untuk mendapat perhatian dan pengakuan," tegas Sastia.

Ditambah lagi, peneliti perempuan sering kali harus menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu. "Full time mother, full time scientist," ujar Sastia yang telah mengenalkan Aisha, puterinya, pada dunia penelitian sejak usia dini.

Untuk itu, ia mengajak perempuan Indonesia untuk saling mendorong dan menguatkan satu sama lain, termasuk dalam bidang penelitian. Ketimbang saling 'nyinyir', ia mengajak perempuan Indonesia berkolaborasi untuk menguatkan emansipasi perempuan di ranah riset.

Hal ini telah dibuktikan Sastia lewat beberapa pendampingan dan kerja sama riset dengan peneliti perempuan Indonesia lain di antaranya; Tissa (co-founder Pipiltin Cocoa), Neni Nuraini (manager R&D Biofarma) dan Fenny Dwivany (tim riset ITB).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau