KOMPAS.com - Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nahdlatul Ulama (NU) punya cara khusus bagaimana mengembangkan minat baca di kalangan siswa mereka.
Setelah mengikuti program "Pintar" Tanoto Foundation, MI NU Balikpapan, Kalimantan Timur, mulai menerapkan program membaca dengan mengambil waktu-waktu khusus. Setiap hari Selasa, Rabu, dan Kamis, siswa masuk kelas masing-masing untuk membaca senyap selama kurang lebih 15 menit sebelum pembelajaran.
Membaca senyap adalah model membaca dengan meminimalkan suara, sehingga pembaca bisa berkonsentrasi terhadap bacaan. Selama membaca tersebut, mereka ditemani guru masing-masing kelas.
Setelah membaca senyap, para guru mempersilahkan para siswa untuk bertanya tentang kata-kata sulit. Misalnya, beberapa anak-anak bertanya arti kata strategis, masa lampau dan sebagainya. Dengan cara demikian, para siswa semakin mengetahui banyak kosa kata.
Selain itu, pada kelas tinggi biasanya siswa akan diminta guru masing-masing kelas untuk menceritakan isi buku yang dibaca.
Baca juga: Hari Aksara Internasional: Literasi Bukan Hanya Soal Bebas Buta Aksara
Guru juga mewajibkan siswa memiliki buku jurnal membaca. Buku tersebut terdiri dari beberapa kolom, yaitu kolom hari/tanggal, judul buku, halaman yang dibaca, ringkasan dan tanda tangan.
Setelah membaca buku, biasanya siswa langsung mengisi jurnal tersebut. “Dengan buku jurnal membaca ini, kita jadi mengetahui berapa jumlah per bulan buku yang dibaca siswa. Para siswa juga terlatih untuk meringkas dan menceritakan kembali hasil bacaannya lewat tulisan singkat,” ujar Lusi, guru kelas II di MI NU Balikpapan.
Selain membaca senyap, untuk kelas rendah, pada hari Selasa para guru di MINU membaca nyaring sebuah cerita menarik,. Misalnya yang pernah dilakukan Lusi adalah membacakan kisah Malin Kundang.
Sembari mendengarkan, para siswa diajak juga belajar bagaimana bercerita yang ekspresif dan menyenangkan.
Setelah selesai membacakan cerita, Bu Guru Lusi juga meminta siswa bercerita ke depan seperti dirinya. Hasilnya beberapa siswa berani maju ke depan. Menurutnya, dengan cara ini para siswa selain semakin paham dengan cerita yang dibaca, mereka juga terlatih untuk berani.
Di hari Sabtu, siswa membaca secara massal di lapangan selama 15 menit. Para guru memberi teladan dengan ikut membaca bersama mereka. Bukan hanya guru, tapi juga semua warga sekolah.
Semua orang yang hadir di sekolah wajib membaca. “Bahkan penjaga kantin, satpam dan orangtua siswa juga wajib membaca buku. Para siswa akan lebih tergerak membaca kalau semua orang ternyata juga ikut membaca,” ujar Gunanto, kepala sekolah MI NU Balikpapan.
Setelah itu, tiap kelas diwajibkan mengirimkan perwakilannya presentasi menceritakan kembali hasil bacaan. Kepala Sekolah MINU biasa memberi hadiah bagi siswa yang dinyatakan oleh para guru dan siswa menceritakan hasil bacaannya dengan bagus.
Hal yang sama juga dilakukan oleh MI At Tholibin. Secara berkala, MI yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara ini juga mengadakan lomba menceritakan buku kembali.
“Setiap kelas juga mengirimkan wakilnya. Yang paling menarik dengan lomba-lomba seperti ini adalah munculnya bakat-bakat terpendam para siswa. Ternyata banyak siswa yang berani dan lancar bercerita. Lomba seperti ini menjadi sarana meningkatkan rasa percaya diri, “ ujar Riska, Kepala Madrasah At Tholibin.