Faktor kedua, menurut Bagus, Habibie mendukung terciptanya iklim akademis dalam negeri, yaitu dengan mendorong pembentukan komunitas keilmuwan, seperti Akademi Ilmuwan Muda Indonesia.
“Iklim akademis sebuah bangsa sangat diperlukan guna membentuk masyarakat anti-hoaks yang dapat mendukung terciptanya kebijakan-kebijakan modern yang berbasis bukti,” ucapnya.
Bagus merasa bahwa Indonesia bukan hanya kehilangan seorang ilmuwan, melainkan juga pemikir modern yang berhasil menempatkan penguasaan teknologi sebagai titik sentral pembangunan bangsa.
Dia mengungkapkan pengalaman ketika mengunjungi sebuah sekolah menengah atas di Jakarta pada tahun lalu. Dia bertanya kepada siswa-siswi di sekolah itu mengenai ilmuwan paling hebat yang dimiliki bangsa Indonesia. Semua anak memberi jawaban serentak, “Habibie!”
Namun, ternyata itu merupakan jawaban yang sama ketika pertanyaan tersebut dilontarkan kepada Bagus dan teman-teman seangkatannya saat menjalani kuliah dulu. Begitu pula jika pertanyaan itu disampaikan kepada generasi orangtuanya.
Bagus berpendapat, kini sudah saatnya Indonesia bisa menghasilkan banyak ilmuwan baru seperti Habibie. Ilmuwan itu tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai pusat penelitian berskala internasional.
“Sudah saatnya Indonesia menciptakan Habibie - Habibie baru! Kita butuh pemimpin baru yang sanggup membuat kebijakan berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta, yang dapat membawa Indonesia menjadi global research powerhouse, bukan sekadar negara pengikut,” pungkasnya.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan