KOMPAS.com – Seiring majunya teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, kita merasakan semakin sering penggunaan gadget (gawai) dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu pemanfaatan gawai yaitu untuk mengunggah berbagai aktivitas kita di media sosial (medsos) sehingga orang-orang yang menjadi teman kita di dunia maya mengetahui hal yang kita lakukan.
Unggahan itu bisa berupa teks dalam update status, juga berupa foto dan video yang mempertontonkan lebih jelas kegiatan kita.
Namun, yakinkah Anda bahwa berbagai unggahan yang diperlihatkan teman-teman di medsos itu benar-benar nyata? Terutama untuk kegiatan yang kelihatannya menyenangkan, terlihat menarik, dan sedap dipandang.
Hal itu juga bisa terjadi pada anak-anak dan remaja. Begitu pentingnya status dan pajangan foto-foto yang memanjakan mata di medsos menunjukkan eksistensi mereka demi image positif di dunia maya.
Kadang ada anak yang dalam kehidupan sehari-harinya pendiam, tetapi menjadi pembicara yang andal saat menuliskan status dan memberi komentar yang sangat berbeda dan tidak merepresentasikan kepribadiannya dalam dunia nyata.
Baca juga: Media Sosial dan Peran Media Global Melawan Persebaran Hoaks...
Ada juga anak yang membuat dan mengunggah foto dan video ”drama dalamnya hidup” demi memperoleh banyak komentar, like, serta subcriber ataupun follower di medsos.
Apabila anak-anak dan remaja kita melakukan hal seperti ini terus-menerus, mereka akan kehilangan konsep diri sesuai kepribadiannya.
Para orangtua dan pihak terkait yang membiarkan mereka melakukan itu seolah-olah memberi restu untuk terus membangun image di dunia maya sehingga melupakan konsep diri sebenarnya di dunia nyata.
Seperti disampaikan dalam laman resmi Sahabat Keluarga Kemendikbud, jika hal itu terjadi, berarti kita telah menciptakan “generasi topeng”, yaitu generasi yang hidup di balik “topeng” demi eksistensi dan label tertentu.
Tidak heran bahwa banyak anak dan remaja yang tidak keberatan melakukan tindakan konyol demi memuaskan keinginannya di dunia maya.
Sebagai orang dewasa, kita tidak mau menjadi bagian dari pembentuk generasi topeng. Setiap orangtua pasti ingin agar anak-anaknya tumbuh menjadi manusia yang memiliki kepribadian dan karakter.
Maka dari itu, diperlukan usaha agar hal itu tidak terus terjadi dan menggerus konsep diri anak dan remaja kita. Berikut ini beberapa upaya ini yang bisa dilakukan:
Usahakan untuk lebih sering berdialog dengan anak. Bukalah wawasannya dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai tokoh besar yang inspiratif dan terkenal dengan keunikan di balik kekurangan yang dimilikinya.
Bantulah anak menemukan dan mengembangkan keistimewaan dirinya. Berilah pemahaman bahwa seseorang bisa menjadi besar dengan tetap menjadi diri sendiri.