KOMPAS.com - Wanita ini bernama LouAnne Johnson. Sederhana, tampak sangat cerdas dan bijaksana. Di tahun 1989 ia memilih meninggalkan kesatuannya di marinir Amerika lalu mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik, di Carlmont High School, Belmont, California, yang isinya murid-murid paling brengsek, sangat tidak termotivasi, tak mau dididik.
Menimbang-nimbang pengalamannya menegakkan disiplin di marinir, LouAnn mencoba pendekatan berbeda untuk mendapatkan perhatian serta respek dari ‘berandalan-berandalan’ di kelasnya. Bagi LouAnn, tanpa kedua hal itu ya percuma saja mengajari mereka pelajaran-pelajaran sesuai kurikulum.
Berbekal dua lagu Bob Dylan, "Mr Tambourine’s Man" dan "Do Not Go Gentle Into That Goodnight" yang sarat akan metafor dan sangat puitis, LouAnn mulai mendapatkan perhatian, respek bahkan cinta dari para muridnya.
Meski ditentang oleh kepala sekolah dan kolega-koleganya, LouAnn tetap bersikukuh menjalankan metoda pengajarannya. Tujuannya sama: murid-murid belajar banyak hal termasuk apa yang diwajibkan dalam kurikulum.
Kisah LouAnn menginspirasi banyak orang, terutama yang peduli pada pendidikan formal.
Di tahun 1995 Hollywood memvisualisasikannya dengan sempurna dalam film "The Dangerous Mind" dibintangi Michelle Pfeiffer.
Pendidikan formal tak hanya menjadi kepedulian kaum kebanyakan yang mampu membayar berapapun harga sebuah pendidikan, tapi juga kaum marginal, yang tak hanya melihatnya sebagai kemewahan, tetapi sekaligus kutukan.
Apakah kesalahan kurikulum? Tidak juga. Buku-buku wajib (textbook) yang dipakai? Belum tentu.
Bagaimana dengan metodologi? Nah, mungkin ini salah satu biangnya. Biang lainnya adalah common sense untuk alasan dan tujuan apa seseorang masuk ke ruang kelas, lalu di ujung hari apa yang sebenarnya ia dapatkan dari kelas itu.
Beberapa waktu lalu saya diundang untuk memberikan paparan tentang Link & Match dalam pendidikan tinggi oleh Forum Dosen Manajemen Indonesia (FMI) di UNJ. Bersama saya ada dua panelis lain yang juga seperti saya sama-sama datang dari latar belakang korporat.
Dalam forum yang dihadiri banyak dosen manajemen tersebut muncul kegelisahan: apakah yang kita ajarkan benar-benar dibutuhkan oleh industri. Bila tidak, apakah nanti para mahasiswa itu akan kita biarkan berjuang sendirian, atau malah menambah statistik pengangguran di tanah air?
Saya sengaja tayangkan matakuliah-matakuliah yang rata-rata diajarkan di berbagai program studi manajemen (S1) di kampus-kampus kita. Ini visualisasi yang paling kasat mata.
Dengan suara yang lebih berat, saya katakan “this is what you have been teaching them”.
Sebenarnya itu pula yang saya lakukan sesuai textbook saat saya mengajar sebagai praktisi. Rangkuman itu ada di bagian sebelah kiri slide saya. Lalu saya tayangkan kebutuhan industri (saya tak ingin latah dengan menyebutnya “Kebutuhan Industry 4.0”) di bagian sebelah kanan. “This is what the industry needs. So, where is the culprit?”
Ternyata kebanyakan peserta forum juga sudah lama melihat dua visualisasi yang kontras ini, tapi tak tahu harus mengurai dari mana dulu. Kenyataan lain yang menyesakkan adalah bahwa banyak manager unggul di perusahaan-perusahaan yang akhirnya jadi pimpinan puncak justru datang dari engineering school.