Tak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Apakah kurikulum studi teknik lebih baik dalam mengajar ilmu manajemen? Apakah para engineer lebih mudah beradaptasi dengan dinamika dunia bisnis pada realitanya?
Mari kita balik ke kelasnya LouAnne. Saat metodologinya dipertanyakan keabsahannya oleh kepala sekolah dan kolega-koleganya, hanya satu hal yang mengganggu benaknya: the way we teach. LouAnne tidak memperdebatkan isi pelajarannya, meski ia mencatat ada beberapa yang sudah tak sesuai jaman.
“Knowledge counts, but common sense matters” – begitu saja ia menanggapi keberatan sang kepala sekolah dan kolega-koleganya. Dan anda bisa mulai membayangkan betapa sulitnya LouAnne mengajar anak-anak yang tidak disiapkan untuk menjadi siswa yang berbudi pekerti serta beradab. Mereka lahir dan bertarung di jalanan hanya agar bisa bertahan hidup.
Common sense? Bukankah itu juga cerita seputar adonan kue di mesin yang berharap ‘ia’ menjadi sesuatu yang lain, yang lebih bernilai daripada sekedar jadi kue?
Metodologi pengajaran – didaktik metodik. Barangkali pembaca pernah mendengar hal itu? Dulu sekali saya sering mendengar dari ayah saya, seorang guru SMA swasta di Yogya. Beliau sudah almarhum.
Seingat saya tiga bulan sekali guru-guru dengan mata ajar yang sama dikumpulkan dalam retret, atau semacam bootcamp di Ambarawa atau Muntilan oleh sebuah institusi yang bernama Badan Kerja Sama (BKS).
Bootcamp ini melatih para guru, apapun mata ajar yang mereka bawakan, untuk mencari dan mengembangkan metodologi pengajaran yang diperbarui, yang sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan (SD hingga SMA) dari tahun ke tahun, tanpa merubah isi ajar (content). Sebuah metodologi yang fun, membuat anak-anak jadi senang belajar.
Saya ingat betul guru-guru yang mengikuti bootcamp ini pada akhirnya berhasil membawa sekolah mereka masing-masing menjadi sekolah-sekolah favorit, langganan juara dalam berbagai bidang ajar.
Lebih daripada itu – meminjam istilah ‘adonan’ dan ‘kue’ tadi – sekolah-sekolah itu menghasilkan anak-anak yang kelak di kemudian hari menjadi petarung-petarung unggul di berbagai bidang industri, bahkan sampai hari ini. Sekolah-sekolah tadi tak berakhir menjadi pabrik kue.
Event di UNJ beberapa waktu lalu semestinya bisa berkembang menjadi sebuah konsep bootcamp untuk bertukar gagasan bagaimana menciptakan, atau mengembangkan sebuah metodologi pengajaran di kampus-kampus agar spirit ‘link and match’ tak berakhir jadi jargon atau wacana, tetapi membumi dan dieksekusi di kampus-kampus.
Dengan makin mewabahnya informasi yang tak berkesudahan di internet melalui berbagai platform, belajar bisa dilakukan tanpa berada di ruang kelas dan bertatap muka.
Apalagi mahasiswa sekarang sangat internet-minded, gadget-savvy, praktikal sekaligus pragmatis. Segalanya bisa membuat mereka pintar tanpa harus berinteraksi dengan dosen atau institusi pendidikan.
Apple, Google dan raksasa-raksasa Silicon Valley lainnya sudah membebaskan pelamar pekerjaan tak harus punya ijazah perguruan tinggi, yang penting mereka kompeten di bidang yang diperlukan, dan dapat diandalkan.
Kampus-kampus ‘Ivy League’ – sebutan untuk delapan kampus papan atas di pantai Timur Amerika (Harvard, Yale, Columbia, Princeton, Cornell dan lainnya) pun sudah memasuki era ini, bukan karena mereka takut kehilangan intake – calon mahasiswa yang mendaftar – namun lebih daripada itu, mereka ingin mendorong anak-anak muda hingga para profesional muda untuk upgrade kompetensi mereka agar tetap kompetitif di industri manapun.
Caranya? Online learning, online certification, online case studies (real cases), dan lainnya. Inilah online bootcamp seperti yang saya ceritakan terjadi di Ambarawa dan Muntilan dua atau tiga dasawarsa lalu.