KOMPAS.com - Bencana gempa bumi pada Juli 2018 menyisakan trauma mendalam pada warga Lombok Timur, khususnya anak-anak usia di bawah 6 tahun.
Tercatat, sebagai wilayah terluas di Nusa Tenggara Barat, Lombok memiliki sekitar 400 Taman Kanak-Kanak dan Pendidikan Anak Usia Dini yang menangani sekitar 16.000 anak. Separuh dari jumlah seluruh sekolah itu mengalami kerusakan.
“Lebih dari 200 sekolah TK dan PAUD terdampak bencana tahun lalu. Walau masih ada trauma, anak-anak masih antusias untuk melakukan kegiatan belajar di bangunan sementara maupun tenda-tenda," cerita kata Suka, Kepala Balai Pengembangan PAUD dan Pendidikan Masyarakat, Nusa Tenggara Barat.
Ia menuturkan beberapa bangunan permanen juga sudah berdiri, tetapi anak-anak sempat mengeluh panas karena tidak ada kipas angin.
Meski terdengar seperti keluhan sederhana, anak-anak di wilayah bencana sesungguhnya mengalami problem jauh lebih berat sehingga sulit menerima pelajaran.
Baca juga: Menyanding Gawai Dalam Kelas, Menjadikan Lawan Jadi Kawan Pembelajaran
Kondisi dialami anak-anak korban bencana di Lombok menggugah Tarek Razik, Head of School Jakarta Intercultural School (JIS) dan tim Jakarta Intercultural School untuk bertindak.
Greg Zolkowski, Community Educational Outreach Coordinator JIS dan tim berangkat ke lokasi bencana di Selong, Nusa Tenggara Barat, pada akhir September lalu.
“Periode TK dan PAUD merupakan masa kritis bagi anak-anak untuk mengembangkan ketrampilan kognitif, kompetensi sosial, emosi serta kesehatan mental. Ini adalah pondasi bagi mereka untuk meraih sukses saat dewasa," ujar Razik.
Karena itu, JIS tergerak untuk membuat para murid kembali bersemangat dalam belajar melalui workshop bagi para guru.
"Dalam misi ini, JIS membawa tim khusus mengajarkan guru TK dan PAUD di Lombok Timur agar dapat memotivasi anak belajar melalui bermain atau learn through play,” ujar Razik.
Tarek menambahkan, bermain adalah salah satu cara penting bagi anak dalam menggali ketrampilan dan kemampuan berpikir.
Anak pun dapat terlibat aktif secara fisik dan mental dalam pengalaman ini sehingga mereka dapat berekspresi, merasakan tantangan baru serta mencari tahu lebih jauh tentang lingkungan di sekitarnya.
Namun tantangan mengajak anak belajar sambil bermain di lokasi pasca-bencana cukup besar.
“Guru-guru di Lombok kesulitan menemukan alat bermain yang memadai. Karena itu, tim JIS menginspirasi para guru setempat agar lebih kreatif memanfaatkan benda maupun barang bekas dari lingkungan sekitar yang tetap bisa digunakan untuk menggali kemampuan anak dalam proses belajar," ujar Greg Zolkowski.