Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Menaruh Harapan pada Menteri Nadiem Makarim

Kompas.com - 06/11/2019, 09:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Pendidikan diharapkan tidak hanya berorientasi pada aspek ekonomi semata dalam memenuhi kebutuhan hidup, tetapi aspek karakter yang diinternalisasi dalam praktik budaya harus lebih dihidupkan, sehingga kita tidak menjadi robot-robot yang terpenuhi kebutuhan hidupnya secara ekonomi saja tetapi secara roh kita miskin rasa kemanusiaan.

Persoalan pendidikan kita tidak hanya pada lompatan teknologi jauh ke depan tapi juga memperbaiki carut marut pendidikan di Indonesia dengan memperhatikan pendidikan karakter melalui kebudayaan.

Pendidikan karakter

Melihat data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) 2016 Indonesia menduduki peringkat mutu pendidikan 10 dari 14 negara berkembang, dan kualitas guru urutan 14 dari 14, sungguh memprihatinkan.

Persoalan minimnya standar pelayanan sekolah, masih maraknya kasus kekerasan, perundungan (bullying), narkoba, dan radikalisme adalah potret nyata hasil pendidikan kita saat ini, tidak hanya di tingkat sekolah dasar dan menengah, tapi juga di tingkat pendidikan tinggi.

Melihat fakta di atas, program penguatan karakter sebagai program Kemendikbud untuk mewujudkan revolusi mental seperti termuat dalam Nawa Cita bisa dikatakan masih “terseok-seok”.

Dalam periode yang baru ini, pengembangan dan penguatan karakter religius, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan kegotong-royongan yang bersumber dari asas Pancasila tidak boleh ditinggalkan.

Penanaman nilai-nilai karakter ini juga menjadi kurikulum wajib untuk mengimbangi lompatan teknologi informasi yang akan dibangun dalam sistem pendidikan kita ke depan.

Sikap nasionalisme terbuka sebagai visi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, hendaknya tetap meninggikan apresiasi terhadap budaya sendiri, cinta tanah air, serta menghormati keberagaman budaya, suku, dan agama, baik yang sifatnya lokal maupun global.

Ini senada dengan visi Presiden ke-3, seorang teknokrat, BJ Habibie, “Indonesia harus mengandalkan sumber daya manusia yang berbudaya, merdeka, bebas, produktif, dan berdaya saing tinggi.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau