Jika Anda pernah berhaji atau umrah, Anda mungkin akan merasa sangat bodoh dan bingung atau tak paham arti tulisan yang mampu dibaca dalam aksara dan bahasa Arab itu.
Demikian pula pada kasus 53 persen itu. Umumnya anak-anak mampu membaca, tapi tak paham artinya.
Singkat kata, Bank Dunia menyampaikan pesan, jika anak usia 10 tahun tak paham yang dibaca, dan jika itu dibiarkan, mereka akan tetap "miskin". Pasalnya, hal itu adalah penyumbang terbesar dari 53 persen dan itu adalah negara setengah miskin hingga miskin dengan belanja pendidikan antara 900-200 dollar AS per murid per tahun.
Target ambisius
Melihat gawatnya situasi "Learning Poverty" ini, maka Bank Dunia menetapkan upaya untuk mencapai penurunan menjadi setengahnya, yakni dari angka 53 persen (2015) hanya tersisa 27 persen anak usia 10 tahun di 2030 yang tak faham teks yang dibacanya.
Itu akan dilakukan, meskipun harus melalui upaya tak lazim, karena jika dengan cara biasa saja (business as usual) hanya akan turun hingga 43 persen. Diprediksi, penurunan hingga 27 persen baru bisa dicapai jika tingkat penurunan rerata di semua negara sebesar 20 persen.
Bank Dunia hanya menyentuh persoalan kompetensi membaca yang masih paling baik kondisinya daripada kompetensi sains dan Matematika yang masing masing hanya bisa menyamai rerata negara OECD dalam ratusan tahun, karena masing-masing harus menggapai sekitar 95 poin dari rerata nilai kompetensi PISA (2015) Indonesia untuk Matematika dari 433 ke 527 dan untuk sains dari 437 ke 526. Indonesia akan mampu menyetarakan diri jika mampu meningkat rerata 20 persen setiap tahun.
Selain perbaikan proses pembelajaran di kelas, salah satu usulan paling penting dari Bank Dunia dalam upaya sukses menggapai target 27 persen kebutaan membaca di 2030 itu adalah peningkatan kompetensi guru SD/MI dan manajemen sekolah, serta otoritas pendidikan yang efektif adalah intervensi kebijakan pemerintah. Namun, tak disebutkan dalam bentuk seperti apa perbaikan itu.
Jika untuk tujuan jangka pendek, yaitu meningkatkan kebekerjaan (employability) di dunia usaha dan industri, pemerintah sudah menerbitkan "Inpres Revitalisasi SMK". Namun, untuk tujuan investasi jangka panjang, seperti zaman presiden sebelumnya, pemerintah harus menerbitkan "Inpres Revitalisasi Pendidikan SD/MI" meneruskan "SD Inpres" yang berfokus ke akses sehingga Angka Partisipasi (APK) naik dan otomatis menaikkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Dengan adanya Inpres Revitalisasi SD/MI yang berfokus ke mutu, maka semua anasir yang mendukung mutu seperti kompetensi guru, kurikulum, pengadaan buku bacaan, pendidikan "preservice" PGSD/MI dan lainnya akan menjadi prioritas utama.
Pada akhirnya, hal itu akan meningkatkan kompetensi murid dan menaikkan angka uji PISA dan AKSI yang merupakan bukti peningkatan hasil belajar di kelas. Kita tunggu saja...
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.