KOMPAS.com - Pada World Bank Review 2019 di awal bergulirnya tahun 2019 Bank Dunia secara terbuka mengatakan bahwa Indonesia tidak siap menghadapi Revolusi Industri 4.0. Bahkan, untuk 2.0 pun belum siap.
Tak hanya itu. Bank Dunia juga menulis bahwa rerata hasil belajar para pelajar di Jakarta lebih buruk dari rerata hasil belajar pelajar di pedesaan di Vietnam.
Catatan itu bukan tanpa maksud, karena dalam SDGs ditetapkan bahwa pada 2030 dipastikan bahwa semua anak usia 10 tahun memperoleh pendidikan dasar bermutu. Bahkan, merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menaruh perhatian khusus di pendidikan dasar.
Dalam Laporan Akhir Tahun 2019, meski frasa yang disampaikan tentang dunia pendidikan di Indonesia sangat optimistik "The promise of Indonesia Education", namun isi laporan, bahkan pidato pejabatnya sangat mengerikan, karena saat ini di dunia sedang terjadi "Learning Poverty" kemiskinan (dalam) belajar, yaitu 53 persen anak usia 10 tahun di bumi tak faham yang mereka baca.
Berdasarkan angka itu, Indonesia menyumbang 47 persen. Ini sebuah angka nominal persentase terbaik dibanding ketakfahaman sains sebesat 74 persen dan Matematika sebesar 77 persen (INAP/AKSI 2017).
Meski pesan yang disampaikan sangat jelas, bahwa 53 persen anak usia 10 tahun itu boleh jadi melek huruf alias fasih membaca, namun mereka tak faham apa yang dibaca.
Tetapi, entah karena puas dengan penurunan angka buta huruf (illiterate) yang luar biasa, masih ada pejabat tinggi yang mengatakan bahwa Indonesia tidak termasuk dalam angka 53 persn itu, bahkan masih merasa tidak darurat, lantaran sejumlah pelajar Indonesia masih memenangkan kontes mata pelajaran di dunia.
Hal itu sangat bisa dipahami, karena masyarakat Indonesia sudah terjangkit penyakit komplasen akut, yakni sebuah sikap yang menganggap "perahu" baik-baik saja, padahal di depan mata terbentang air terjun ratusan meter menganga.
Toh, meski pesan itu datang dari sebuah institusi nonakademik seperti UNESCO, tetapi dari Bank Dunia, sepatutnya dunia pendidikan bahkan negara wajib mendengar dan merespon positif.
Mengapa? Karena membaca dan paham itu adalah dasar semua dasar, berkaitan dengan semua aktivitas kehidupan keseharian dan sangat diperlukan.
Jika Anda pernah berhaji atau umrah, Anda mungkin akan merasa sangat bodoh dan bingung atau tak paham arti tulisan yang mampu dibaca dalam aksara dan bahasa Arab itu.
Demikian pula pada kasus 53 persen itu. Umumnya anak-anak mampu membaca, tapi tak paham artinya.
Singkat kata, Bank Dunia menyampaikan pesan, jika anak usia 10 tahun tak paham yang dibaca, dan jika itu dibiarkan, mereka akan tetap "miskin". Pasalnya, hal itu adalah penyumbang terbesar dari 53 persen dan itu adalah negara setengah miskin hingga miskin dengan belanja pendidikan antara 900-200 dollar AS per murid per tahun.
Melihat gawatnya situasi "Learning Poverty" ini, maka Bank Dunia menetapkan upaya untuk mencapai penurunan menjadi setengahnya, yakni dari angka 53 persen (2015) hanya tersisa 27 persen anak usia 10 tahun di 2030 yang tak faham teks yang dibacanya.