KOMPAS.com - Elie Wiesel, salah satu korban kejahatan kemanusian Nazi Jerman berkisah tentang bahaya pengabaian di depan Presiden Clinton dan anggota Kongres.
“Merasa ditinggalkan oleh Tuhan lebih buruk ketimbang dihukum oleh-Nya. Lebih baik memiliki Tuhan yang tidak adil daripada Tuhan yang tidak peduli. Diabaikan oleh Tuhan adalah sebuah hukuman yang lebih berat daripada menjadi sasaran amuk amarah”.
Pidato Wiesel ini saya baca di sudut ruangan guru yang disekat kemudian dinamai perpustakaan sekolah. Mungkin saja, suasana perpustakaan yang saya tempati adalah kabar buruk bagi para pegiat literasi hari ini.
Kabar baiknya, menyiapkan bacaan sebagus itu, telah menyelamatkan kepala sekolahku dari dosa-dosa pengabaian. Konon kabarnya, di hari akhir nanti, salah satu satu pertanyaan mendalam terkait dosa-dosa pengabaian. Kawan-kawan, berhatilah-hatilah.
Begini... Wiesel menemukan ada tiga kelompok yang terus menerus diproduksi oleh lingkungan. Oleh kita semua.
Baca juga: Jelang Hari Guru Nasional, Ini 5 Pesan Penting Mendikbud Nadiem bagi Guru
Kelompok pertama adalah mereka para pembunuh yang siap memangsa setiap waktu. Kelompok kedua diisi oleh para korban yang tidak berdaya. Karena tidak berdaya, empuk jadi mangsa. Kelompok terakhir adalah para penonton yang tidak melakukan apa-apa.
Ketiganya menjadi peran atau bahkan lebih jauh tumbuh sebagai cita-cita.
Jika anda bertanya pada murid-murid tentang cita-cita mereka, mungkin akan menyebut salah satu pekerjaan yang banyak ditekuni orang dewasa hari ini. Menjadi pilot, guru, dokter atau mungkin menjadi pembesar negara.
Cita-cita itu pun tumbuh dengan perannya masing-masing. Kerap kita menyaksikan bagaimana pilot menjadi pembunuh, atau guru yang terbunuh atau pembesar negara yang senang menonton.
Nah, dari ketiga peran tersebut, kata Wiesel, kelompok terakhirlah yang paling banyak diproduksi sekaligus menjadi kelompok paling berbahaya. Membunuh atau dibunuh karena keberadaan kelompok ketiga.
Kita, cenderung membiarkan atau mengabaikan, tumbuh dengan peran sebagai penonton.
Bagaimana jika ‘Model Wisel’ ini kita bawa masuk ke unit pendidikan?
Sebutlah dia Mawar. Tentu saja nama samaran. Perilakunya baik-baik saja seperti yang lain. Nilainya cukup bagus. Tidak ada yang aneh. Menjelang semester, dikabarkan akan menikah karena hamil. Harus berhenti sekolah karena penyebab aib bagi keluarganya.
Setelah ditelusuri, didapatkan beberapa data: bercita-cita menjadi pramugari. Pulang sekolah bekerja di salon kecantikan. Ayahnya meninggal tiga tahun lalu. Ibunya menikah lagi. Saat ini, tinggal bersama neneknya. Naas, hubungan kurang harmonis dengan tantenya.
Rafi. Juga samaran. Laki-laki. Setelah direkapitulasi, kehadirannya kurang dari 70 persen. Nilai tidak tuntas sampai batas waktu yang ditentukan. Tidak bersyarat naik tingkatan berikutnya. Memutuskan berhenti sekolah. Berikut data-datanya: kedua orang tua berpisah. Ayahnya pelaut.
Tiga tahun terakhir belum pulang. Ibunya menikah lagi, disusul ayahnya. Rafi berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga berikutnya.
Sesungguhnya, ini tentang saya dan mungkin Anda. Mawar dan Rafi ‘terbunuh’ karena saya abai sebagai wali kelasnya, sebagai gurunya.
Jika saja jauh hari sebelum peristiwa itu terjadi, saya menyediakan waktu yang cukup untuk mengenal dan melakukan percakapan bermakna dengan dengan mereka, maka tersedia dua pilihan: mungkin terjadi atau mungkin juga tidak. Percayalah, pengalaman ini sungguh menyesakkan.
Bukan hanya Mawar. Masih ada Bunga, Dahlia, Amir, Azis dan sejumlah nama lain yang kadang ‘terbunuh’ atau ‘membunuh’ karena keberadaanya yang diabaikan kelompok ketiga. Memperlakukan mereka objek kelas yang hanya datang dan duduk, taat dan patuh pada aturan.
Mimpi kita memperlakukan mereka sebagai botol kosong yang terus menerus diisi pengetahuan. Belakang hari, saya paham itu adalah bagian dari pengabaian terbesar terhadap keutamaannya sebagai manusia potensi. Memaksa anak belajar dengan cara yang sama dan berulang-ulang setiap semester.
Rekan guru yang baik...
Sudahkah kita membebaskan diri dari bahaya-bahaya pengabaian itu? Berapa banyak murid yang pernah kita dengarkan? Pernahkah menyediakan waktu bagi mereka untuk bercerita tentang diri atau tentang pengalaman-pengalaman mereka? Adakah waktu yang tersisa sekedar menyapa atau bertanya kabar tentang keluarga, cita-cita atau kesulitan-kesulitan yang mereka alami?
Pernahkah kita mengajak mereka ke ruangan, menyuguhkan air minum sambil bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing? Pernahkah kita bertemu, berkenalan dan bercakap dengan keluarga mereka?
Mari kita jujur. Seberapa penting materi atau tujuan pembelajaran berpihak pada kebutuhan kebutuhan anak? Apakah materi yang tuntas itu benar-benar menjawab kebutuhan mereka atau hanya untuk mewujudkan tujuan kita? Lalu apa yang kita abaikan? Percayalah.
Sesungguhnya sekolah abai bahwa tujuan belajar harusnya menjadi milik anak-anak. Murid murid kita.
Apakah benar bahwa bacaan yang bagus-bagus sudah tersedia di ruang perpustakaan sekolah? Penting mana: menyiapkan laboratorium komputer untuk ujian nasional atau menyiapkan buku dengan kualitas mahal?
Kita abai. Simulasi ujian nasional dilakukan berulang-ulang, tanpa cela, sementara pengadaan buku berkualitas tidak pernah dilakukan? Sekolah berkembang dengan bacaan-bacaan yang buruk. Buruk sekali. Percayalah, kita telah mengabaikan tumbuhnya pikiran-pikiran baik.
Saya meyakini bahwa peristiwa besar berawal dari percikan-percikan kecil yang dilakukan hari ini. Jika belum, segeralah bergegas, karena seringkali peristiwa gelap dan kasar justru lahir dari anak yang diabaikan, tidak tersentuh, dan nampak baik-baik saja.
Kawan-kawan guru. Ada tiga kelompok yang saling berinteraksi di sekitar kita. Pembunuh, korban dan penonton. Di pihak manakah Anda berada?
Sebuah pertanyaan di keramaian perbincangan tentang hari guru…
Penulis: Usman Djabbar Mappisona
Ketua Komunitas Guru Belajar Nusantara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.