Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Guru dan Tantangan Pendidikan Karakter

Kompas.com - 28/11/2019, 17:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Hal yang tidak sederhana untuk mendidik anak-anak menjadi kreatif, bertanggung jawab, disiplin, memiliki etos kerja dan empati. Semua itu harus dimulai dari keluarga selama anak di rumah dan dilakukan oleh guru ketika di sekolah.

Guru dan murid harus memiliki kemerdekaan dalam belajar, mengasah kreativitas. Guru adalah penggeraknya, begitu kata Mendikbud Nadiem Makarim.

Birokrasi harus direduksi. Pekerjaan administratif yang menyita waktu dan tenaga guru diminimalkan.

Guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah tidaklah cukup.

Satu lagi tugas guru yang krusial, ia harus mengajak siswa untuk bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas.

Poin ini memiliki sasaran agar siswa memiliki karakter bergotong-royong sebagai budaya Indonesia dan memiliki sensitivitas terhadap lingkungan.

Pendidikan karakter berbasis budaya akan mengasah kemampuan kognitif, menumbuhkan logika berpikir sehingga sensitivitasnya terangkat.

Guru juga bukan sosok yang menguasai segalanya. Oleh karena itu, guru selayaknya memberikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas karena murid yang kreatif dan inovatif bisa menjadi guru untuk rekan-rekannya.

Yang tak tergantikan oleh digital

Era Revolusi Industri 4.0 yang sampai saat ini masih menjadi pembicaraan di kalangan dunia pendidikan menimbulkan banyak pertanyaan di benak setiap orang untuk dapat menerjemahkan maknanya.

Revolusi 4.0 yang mengoperasikan teknologi digital yang serba canggih, dari istilah internet of things sampai analisis big data dan istilah 5.0 yang sudah mengintip dengan peran artificial intelegent (AI), siap menggantikan peran-peran manusia.

Tapi, teknologi tidak untuk menggantikan peran guru, terutama dalam membangun karakter.

Kemampuan teknis sangat diperlukan dalam Revolusi Industri 4.0. Namun, kemampuan soft skill lebih penting dan tidak bisa digantikan oleh teknologi.

Jangan lupakan kemampuan intra dan interpersonal, yaitu kemampuan berkomunikasi, bernegosiasi, berpikir kritis dan memecahkan masalah.

Pada 2030, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi. Pada tahun itu, angkatan muda akan lebih banyak daripada angkatan usia tua. Generasi emas 2045 sudah harus disiapkan.

Karakter yang harus dibangun dalam pendidikan kita dalam rangka menyongsong Indonesia emas yaitu kejujuran, disiplin, kapabilitas memimpin, dan kerjasama dalam tim dan berkolaborasi, memiliki kecerdasan emosional, kemampuan mengambil keputusan dalam kondisi apapun, memiliki sifat melayani (service orientation), serta kemampuan berbicara, bernegosiasi, kemampuan mencipta dan menjual produk, serta kemampuan merespons dan beradaptasi.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau