Angka ini menurun hampir lima persen jika dibandingkan tahun 2015.
Hampir seperempat siswa menyampaikan merasa diintimidasi dan tertekan setidaknya beberapa kali dalam sebulan. Bahkan 6 persen menyampaikan selalu merasa sedih.
Di hampir setiap sistem pendidikan, anak perempuan mengungkapkan ketakutan lebih besar akan kegagalan daripada anak laki-laki, meski mereka telah mengungguli siswa laki-laki dalam skor membaca dengan selisih yang besar.
Baca juga: Soal Skor PISA 2018, Mendikbud Nadiem: Tidak Perlu Dikemas agar Jadi Berita Positif
“Tujuan PISA bukan untuk menciptakan lapisan akuntabilitas top-down (peringkat/ranking), tetapi untuk membantu sekolah dan pembuat kebijakan untuk mengubah sudut pandang dari dalam birokrasi menuju melihat guru lalu sekolah, berikutnya negara dan selanjutnya,” tulis Andreas Schleicher dalam laporan dengan hasil tes terbaru.
World Economic Forum (WEF) melaporkan sebelumnya banyak pihak melakukan kritik terhadap keberadaan tes PISA yang dipandang mendistorsi apa yang penting dari pendidikan, dan hanya menciptakan semacam "perlombaan" dalam pendidikan.
Pada tahun 2014, lebih dari 100 akademisi dari seluruh dunia menyerukan moratorium pengujian PISA.
Tes Pisa dengan siklus pengujian global dianggap membahayakan siswa dan "memiskinkan" ruang kelas karena dinilai kurang melibatkan lebih banyak indikator pengujian, hanya berfokus pada pilihan ganda, dan kurang otonomi bagi guru.
Menanggapi hal tersebut, Angel Gurría, Sekretaris Jenderal OECD menyampaikan, "PISA bukan hanya indikator kemampuan siswa yang paling komprehensif dan dapat diandalkan di dunia, tetapi juga merupakan alat yang ampuh yang dapat digunakan negara untuk menyempurnakan kebijakan pendidikan mereka.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.