KOMPAS.com - Hasil PISA 2018 menjadi "alarm keras" bagi dunia pendidikan Indonesia untuk segera melakukan refleksi menemukan gap atau “white space” atau area yang masih dibenahi secara efektif, dan berani melakukan perubahan atau inovasi untuk mengatasi gap tersebut.
Hal ini disampaikan Margaretha Ari Widowati pemerhati pendidikan dan Ari Widowati, Deputy Director of PINTAR Tanoto Foundation menanggapi hasil PISA 2018 untuk Indonesia yang dirilis beberapa waktu lalu.
"Prihatin, walaupun PISA bukan harga mati. Datanya menunjukkan kita jalan di tempat. Hasil tes tahun 2000, skor kemampuan membaca, matematika, dan sains 371, 367 dan 393 berturut-turut. Tes tahun 2018 hasilnya tidak signifikan berubah," ujar Ari Widowati
Ia menambahkan, "Skor membaca, matematika dan sains 371, 379 dan 396 berturut-turut. Dan betul, semuanya berada di bawah skor rata-rata."
Ari Widowati mengatakan padahal pemerintah tidak henti-hentinya melakukan intervensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. "Belum lagi berbagai program pendidikan yang dijalankan oleh berbagai lembaga kemanusiaan dan filantropi dalam dan luar negeri," tambah Ari.
Baca juga: 10 Tanggapan Mas Menteri Soal Rapor Merah Skor PISA Indonesia
Namun yang terpenting, menurutnya, adalah bagaimana menggunakan hasil tes 2018 ini untuk melakukan perubahan.
"Saya sangat mengamini apa yang disampaikan Menteri Nadiem Makarim di acara pelantikan Rektor Universitas Indonesia (UI), 4 Desember 2019 lalu di Kampus UI Depok. Beliau menyatakan bahwa masuk kelas tidak menjamin belajar, akreditasi tidak menjamin mutu, meraih gelar tidak menjamin kompetensi," jelas Ari.
Ia melihat hal inilah yang harus menjadi fokus perubahan pendidikan ke depan: kepemimpinan di sekolah dan kualitas pembelajaran yang nyata di lapangan.
Ia menjelaskan setidaknya ada 2 fokus perhatian yang dapat dilakukan:
Lebih jauh Ari menyampaikan perubahan dan perbaikan di dunia pendidikan bukan melulu terobosan, melainkan lebih kepada perlunya kombinasi antara konsistensi dan inovasi.
Beberapa inovasi dan konsistensi yang dapat dilakukan para pemangku kepentingan pendidikan antara lain:
1. Studi PISA 2018 menemukan bahwa anak yang sering membaca, memiliki kemampuan membaca lebih tinggi; bahwa kemampuan membaca anak juga lebih tinggi jika diajar oleh guru memanfaatkan teknologi dan informasi.
2. Semakin sering anak merangkum, menulis kembali apa yang didengar dan dilakukan dengan bahasanya sendiri, membuat kemampuan membaca anak lebih baik. Membaca disini berarti juga memahami yang dibaca.
3. Saat ini eranya adalah era teknologi. Industri 4.0 bukan lagi masalah otomasi, memindahkan dari cara manual ke otomatis, tapi adalah bagaimana menciptakan koneksi dan memanfaatkan teknologi pintar (smart technology) sehingga sumber informasi menjadi tidak terbatas, lintas kelas, sekolah bahkan komunitas dan tidak tergantung pada jarak.
"Kita juga mendorong adanya pengayaan pengetahuan melalui pembentukan komunitas-komunitas belajar bagi guru dan kepala sekolah serta berbagi pengalaman maupun transfer knowledge melalui teknologi," ujar Ari.