Universitas hanya sekadar kamuflase menjaring kelas pekerja. Selembar ijazah berikut torehan prestasi akademik yang mereka dapatkan, semata menjadi syarat untuk menghasilkan pundi-pundi kapital.
Mahasiswa berpredikat summa cum laude dari fakultas eksak sekali pun, kadang bernasib lebih tragis tinimbang rekan seangkatan mereka, yang indeks prestasinya di bawah angka dua.
Sebagian mahasiswa cerdas-jenius ini mati bunuh diri. Putus asa dengan dirinya yang jadi anomali di tengah masyarakat.
Bahkan sudah jadi pemahaman umum, seorang sarjana tak tahu cara menerapkan ilmunya dalam kehidupan. Mereka kehilangan arah sedari dalam diri sendiri.
Cara kita menganggit pengetahuan hari ini, berbeda jauh dengan para pendahulu. Hidup yang serba mudah, membuat kita sulit memahami bahwa segala sesuatu ada awal dan tujuannya.
Anak-anak manusia yang lahir, jelas membutuhkan bekal bagi hidup mereka. Tak semua kita bakal jadi pemimpin. Tak semua kita harus jadi insinyur. Tak semua.
Hidup yang pusparagam begini, tak bisa didekati dengan pola dan pendekatan seragam. Sekolah, harusnya menggunakan pemahaman begini dalam proses belajar-mengajarnya.
Anak-anak didik berperangai tak lazim, bisa serta-merta didepak dari sekolah lantaran dianggap mengganggu ketenangan belajar.
Hanya segelintir pesantren misalnya, yang masih mau menerima santri paling nakal, onar, dan banyak polah, lantas mengarahkan bakat mereka sedemikian rupa.
Sekian belas tahun kemudian, ternyata mereka sudah mendirikan pesantren dan jadi kiai yang disegani.
Sekolah atau kampus yang gagal mengerti keunikan potensi manusia, baru menyadari kesalahannya beberapa tahun kemudian, pasca-menjatuhkan keputusan sepihak pada anak-anak jenius yang luar biasa sulit dikendalikan.