KONON, sekolah terbaik pada zaman halai-balai begini adalah yang termahal, lengkap dengan segala fasilitas pendukungnya. Kian ekslusif maka semakin banyak dicari. Tak peduli kepala jadi kaki, dan kaki jadi kepala—apalagi cuma senyampang korupsi.
Intinya, anak harus sekolah. Orangtua bisa menangguk gengsi dari beban yang ditanggung anaknya.
Jika ditarik benang merah, antara penjara dan sekolah, ya setali tiga uang. Apalagi saat ini, sekolah sudah dengan sangat jeli menjadikan lembaganya sebagai sebuah industri.
Pendidikan anak-anak manusia sudah tak lagi penting. Pokoknya mereka lulus sebagai “sapi perah.”
Menyoal pendidikan anak-anak manusia, kita bisa melirik sejenak ke Finlandia. Negara yang katanya paling berhasil menjalankan fungsi pendidikan rakyat mereka di sekolah.
Pertanyaan kita, kenapa hanya sebiji saja negara di dunia ini yang punya kesadaran tersebut?
Tak bisakah Indonesia seperti itu?
Bisa, asal berani berpisah jalan dengan aturan dunia modern yang menggelikan.
Kita ambil satu contoh saja. Seorang saintis ahli vulkanologi sekali pun, tak mampu mendeteksi kapan sebuah gunung api meletus. Padahal mereka sudah sekolah setinggi mungkin sampai jenjang posdoktoral.
Sementara Mbah Marijan (Raden Ngabehi Surakso Hargo) yang legendaris dan tak pernah mengenyam tetek-bengek pendidikan modern, berhasil meminta sahabatnya, Gunung Merapi, agar berkenan memberi kesempatan warga di sekitar, turun ke wilayah teraman—dan akhirnya meletus dengan dahsyat pada 2010 silam.
Apa yang dilakukan Mbah Marijan tersebut adalah bukti jenis kecerdasan bahasa yang dimiliki manusia.
Ya, kemampuan berkomunikasi dengan seluruh ciptaan Tuhan, dengan bahasa yang sama—bahasa kehidupan.
Kita belum lagi membahas kecerdasan logis matematis yang dimiliki para juru taksir; kecerdasan ruang para pembuat sumur; kecerdasan waktu nelayan-petani yang membaca rasi bintang, atau mereka yang gemar menyintas; kecerdasan kinetik mereka yang menjadi pengolah tubuh macam Ip Man, Messi, dan Christiano Ronaldo; kecerdasan estetis kaum seniman; kecerdasan interpersonal kalangan pemimpin besar dunia; kecerdasan intrapersonal barisan intelijen negara; dan kecerdasan spiritual sekelompok manusia pembaharu zaman sekelas nabi, wali, lama, atau mpu.
Sejak Paulo Freire (1921-1997) mengenalkan filsafat pendidikan pada masyarakat modern, tampaknya perubahan yang ia harapkan tak terlalu kentara di Dunia Ketiga.
Negara berkembang kerap jadi bulan-bulanan Amerika dan anteknya di Eropa. Kolonialisme Abad ke-17 terus disalin rupa jadi liberalisme ekonomi.
Kini kita mengenalnya dengan sebutan yang agak keren: pasar bebas! Anak kandung neo-liberalisme. Di titik inilah hulu petaka pendidikan kita.
Sejak Mazhab Wina (eksakta) dan Frankfurt (humaniora) berebut gengsi pada permulaan Abad-20, sekolah tak lagi berdaya guna bagi para siswanya.