Program Pintar
Praktik baik dan gagasan pendidikan

Kolom berbagi praktik baik dan gagasan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Kolom ini didukung oleh Tanoto Foundation dan dipersembahkan dari dan untuk para penggerak pendidikan, baik guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, dosen, dan pemangku kepentingan lain, dalam dunia pendidikan untuk saling menginspirasi.

"Bullying di Sekolah, Siswaku Sayang Maafkan Gurumu..."

Kompas.com - 04/03/2020, 20:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Titien Suprihatien, Guru SMPN 11 Batanghari

Bully terkadang berawal dari ketidaksengajaan, tidak hanya dilakukan oleh siswa namun ada kalanya kami (guru) juga keceplosan.”

KOMPAS.com - Tidak bisa dipungkiri kehidupan anak-anak penuh dengan canda tawa, terlebih saat mereka bersama di sekolah. Sekolah menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya jiwa dan raga siswa.

Segala interaksi terjadi akan mempengaruhi hati dan rasa yang mereka punya.

Namun, ada banyak juga interaksi yang menyebabkan terjadinya bully pada siswa, baik dilakukan oleh sesama siswa, atau siswa membully gurunya.

Bahkan bullying atau perundungan tak sengaja terkadangpun terucap dari lidah sang guru.

Body Shaming

Body shaming kerap terjadi di sekolah, ini adalah jenis bullying verbal. Seorang siswa menyapa temannya dengan penggilan negatif, mengomentari dan menghina fisik.

Ada banyak panggilan negatif seperti: “pik itam” artinya gadis hitam, “buntal” artinya gendut, “tengkot” atau pincang, “bleng” berarti kulitnya panuan.

Terkadang tersirat sebagai candaan anak-anak, namun tak jarang juga menyebabkan perkelahian.

Anak-anak tertentu terkadang tidak bisa menerima ejekan temannya. Korban ejekkan cenderung menjadi pendiam dan menarik diri dari komunitas di kelasnya, menjadi pendiam dan tidak bisa belajar dengan nyaman.

Tidak hanya siswa, gurupun punya panggilan bully tersendiri dari siswanya

Keceplosan membandingkan siswa dengan kakaknya

Butuh kesabaran ekstra besar bagi seorang guru dalam menghadapi ragam pola tingkah laku anak didik. Perubahan perilaku hidup membuat sebagian siswa-siswi memiliki kepribadian yang susah untuk dibina.

Kenyataan ini membuat guru terkadang emosi. “Kamu tidak seperti kakakmu! Dulu kakakmu rajin, pintar, patuh, berprestasi, sekarang giliran adiknya….. parah… sudah bodoh, bandel pula!”.

Anak didik paling tidak suka dibanding-bandingkan. Ini akan melukai hari siswa, luka yang akan membekas hingga ia dewasa. Bahkan akan mempengaruhi hubungan baik dengan sang kakak yang selalu dipuji

Guru keceplosan membandingkan anak didik dengan anak kandung

Selain membandingkan siswa dengan kakaknya yang sudah tamat, ada juga kecenderungan oknum guru yang membandingkan anak didik dengan anak kandungnya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau