Guru kelas 5 dan 6 selalu mengeluh karena beban "memintarkan" murid pada pelajaran Matematika tertimbun di pundak mereka.
Karena waktu yang hanya tersisa setahun dua tahun dan dihantui kelulusan, maka para guru hanya akan melakukan "drilling" alias berlatih menyelesaikan soal-soal.
Harapannya ketika UAS dan mereka mampu menjawab, maka dianggap kompeten dalam materi pecahan, persen, geometri dan pengukuran hingga statistik sederhana.
Fakta berbicara sebaliknya. Anggapan "taken for granted" tidak benar, karena sebuah survai yang tidak diterbitkan dari 2.600-an murid SD di sebuah provinsi menyatakan 7 dari 10 murid kelas 5 dan 6 dari SD sampel tersebut menjawab soal 3/4 + 3/4 dengan jawaban 6/8.
Hal ini cocok dengan hasil survai IFLS Tahun 2016 yang menyatakan hanya 1 dari 10 murid usia 18 tahun menjawab benar soal 1/3 - 1/6.
Mereka tak faham bahwa 3/4 itu adalah 3 potong dari potongan 1 dibagi 4 dan 1/3 itu adalah dua "keping" 1/6. Sehingga alangkah horornya jika pecahan dioperasikan dalam kurang, kali dan bagi.
Mapel matematika jenjang SD/MI sejak kelas 1 hingga kelas 6 hanya diajarkan berlatih menjawab soal-soal yang sudah diketahui jawabannya dan tak ada penyelesaian masalah, koneksi matematika, komunikasi gagasan matematika.
Tidak terjadi penanaman konsep bilangan dan operasi, pengukuran, geometri dan statistik/probabilitas.
Baca juga: Skor PISA 2018: Daftar Peringkat Kemampuan Matematika, Berapa Rapor Indonesia?
Jadi, tak mengherankan jika matematika menjadi sesuatu yang wajib dihapalkan dan guru kelas yang pada dasarnya tak menyukai matematika hanya akan mengajar selintas dari kelas 1 hingga kelas 4 dan menyerahkan ke koleganya untuk menuntaskan di kelas 5 dan 6.
Jika kita masih membiarkan kondisi nyata di jenjang SD/MI masih seperti saat ini, maka saya yakin target RPJM 2019-2024 meskipun masih sangat rendah, tetap akan sulit dijangkau, apalagi target mendekati rerata negara OECD.
Pemerintah dan semua pemangku kepentingan wajib "mereparasi" pembelajaran matematika di semua kelas di jenjang SD/MI, tidak hanya membiarkan warga SD/MI menyerahkan tugas penuntasan konsep bermatematika hanya kepada guru kelas 5 dan 6, itupun jika ada guru yang kompeten.
Pembelajaran matematika, dan tentu membaca dan sains wajib diajarkan konsep dasarnya di semua tingkatan kelas sesuai dengan perkembangan kognitifnya.
Jangan teruskan mendidik murid agar menjadi cepat pandai dengan cara abstraksi manusia dewasa, apalagi dengan ukuran sukses murid terpandai, karena hasilnya akan sebaliknya, menambah manusia tak bernalar sehat.
Padahal, Tuhan memberi anugerah otak dengan potensi bernalar normal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.