Oleh: Andya Primanda | Penerbit KPG
KOMPAS.com - “Segala yang kita gunakan untuk menghadapi pandemi didasari apa yang kita sudah ketahui mengenai gen dan genetika pada abad kemarin,” demikian komentar Siddhartha Mukherjee, dokter kanker dan penulis buku "Gen" kepada penulis TheDailyBeast.com.
Dalam buku itu, "Gen", Siddhartha Mukherjee mengungkapkan, sejarah genetika sepanjang abad ke-20 telah memberi kita banyak pengetahuan: mulai dari gagasan DNA dan RNA, sifat virus, pembacaan sekuens genom, PCR, sampai penggunaan informasi genetis untuk merancang obat dan vaksin.
Semua itu membuat kita lebih berdaya ketika menghadapi wabah Covid-19 saat ini.
Peradaban manusia sekarang sudah lebih siap menghadapi wabah dibanding ketika dilanda berbagai wabah terdahulu, seperti pandemi flu Hongkong pada 1950-an akhir dan flu Spanyol 1910-an akhir, keduanya menewaskan jutaan orang.
Dalam wabah ini, beberapa bidang kehidupan manusia tak berdaya, beberapa lainnya malah memperburuk keadaan, dan beberapa akan terbukti berguna dalam mengatasinya. Genetika, ilmu yang mempelajari informasi yang membentuk makhluk hidup, jelas bakal membantu.
Baca juga: Mencari Pintu Masuk Dunia Murakami
Buku berjudul asli "The Gene: An Intimate History" ini menjadi pembahasan dalam webinar Buka Buku KPG di Zoom bersama dr. Ryu Hasan (ahli bedah saraf) dan Prasdianto (komunikator sains dari Zenius Education) pada Jumat, 24 April lalu.
Acara ini, yang berlangsung sekitar dua jam, diikuti oleh sekitar 280 peserta. Rekamannya tersedia di kanal Youtube Penerbit KPG.
SARS-CoV2, coronavirus penyebab Covid-19, sejatinya adalah sepotong RNA (asam ribonukleat) yang dibungkus selubung berbentuk bola dengan tonjolan-tonjolan.
RNA adalah jenis molekul yang di sel manusia menjadi perantara DNA (asam deoksiribonukleat) pembawa informasi mengenai tubuh manusia untuk membuat protein pembangun tubuh.
RNA virus berisi informasi untuk membuat virus, tapi tidak bisa membuatnya sendiri. Virus memasuki sel hidup untuk membajak mekanisme pembangunnya guna membuat salinan virus baru.
Kecenderungan membuat salinan itu adalah sifat dasar DNA dan RNA, fungsi dasar makhluk hidup. Virus menyebar dan menular karena memenuhi fungsi membuat salinan itu.
Itulah motivasi virus yang sebenarnya: bukan untuk membuat manusia sakit atau mati, melainkan hanya demi bereproduksi, tanpa peduli apa efek sampingnya kepada inang makhluk hidup yang tertular.
Deteksi coronavirus dilakukan dengan mencari keberadaan RNA-nya di sampel dari tubuh manusia.
Dalam prosedur yang kini terkenal yaitu “tes swab” atau RT-PCR (reverse transcription polymerase chain reaction), sampel colekan (swab) dari bagian atas tenggorokan digunakan sebagai sumber RNA virus (kalau ada).
Sampel pertama-tama dicampur reagen yang bisa mengekstrak RNA, kemudian menjalani proses PCR (“fotokopi”) yang bisa melipatgandakan RNA virus.
Apabila di sampel ada RNA virus yang bisa digandakan PCR dan kemudian terdeteksi, itu menunjukkan hasil positif: sampel berasal dari orang terinfeksi SARS-CoV2.
Pengenalan dan deteksi coronavirus didasari pengetahuan dan teknik genetika yang telah ditemukan: keberadaan dan struktur DNA dan RNA, struktur dan sifat virus, dan teknik tes DNA yang melibatkan ekstraksi dan PCR.
Baca juga: Hari Buku: Menolak Tamat Ketika Roda Penerbitan Terhalang Covid-19
Sesudah menyadari bahwa wabah penyakit pernapasan yang bermula akhir tahun 2019 di Wuhan disebabkan coronavirus jenis baru, salah satu langkah pertama yang dilakukan para saintis di Tiongkok adalah berusaha membaca (sekuensing) genom virus itu.
Genom adalah keseluruhan isi bahan genetis suatu makhluk hidup; dalam hal coronavirus baru, itu berarti seluruh RNA-nya.
Bahan genetis (DNA dan RNA) berupa molekul panjang yang mengandung informasi yang tertulis dengan “huruf” kimia berupa empat jenis basa nitrogen: adenin (A), sitosin (C), guanin (G), dan timin (T) di DNA atau urasil (U) di RNA.
“Instruksi” pembentukan suatu makhluk hidup adalah kalimat panjang yang terdiri atas empat jenis huruf.
Misalnya, 60 “huruf” pertama genom SARS-CoV2 (dalam bentuk DNA) adalah sebagai berikut:
ATTAAAGGTT TATACCTTCC CAGGTAACAA ACCAACCAAC TTTCGATCTC TTGTAGATCT
Gagasan membaca genom makhluk hidup sudah ada sejak 1980-an.
Baca juga: Re;nkarnasi Karya Terbaru Maman Suherman: Lebih Fiksi dari Fiksi
Dianggap bahwa bila sekuens keseluruhan genom suatu makhluk hidup diketahui, kita akan mendapat informasi berharga yang memungkinkan kita mengerti lebih jauh bagaimana makhluk hidup itu terbentuk dan berfungsi.
Upaya membaca genom paling ternama sejauh ini adalah Human Genome Project, pembacaan seluruh DNA manusia, yang berlangsung antara 1990 dan 2003, dan hasilnya, kita sudah mengetahui secara umum gambaran keseluruhan genom manusia.
Genom manusia panjangnya sekitar tiga miliar pasangan basa nitrogen. Dibanding itu, genom coronavirus baru yang kemudian dinamai SARS-CoV2 sangat pendek: hanya 30 ribu pasangan basa.
Namun informasi sesedikit itu sudah mampu menimbulkan dampak luar biasa besar bagi manusia.
Dalam diskusi melalui Zoom, muncul pula bahasan tentang asal-usul virus SARS CoV2.
Menurut narasumber, dr Ryu Hasan, pengetahuan genom SARS-CoV2 dapat digunakan untuk berbagai hal.
Salah satunya adalah mencari tahu asal-usulnya: SARS-CoV2 ditunjukkan bukan sebagai virus hasil buatan atau rekayasa manusia, melainkan hasil evolusi dari coronavirus yang mirip dengannya di hewan, diduga kelelawar atau trenggiling.
Manfaat lainnya adalah dalam pencarian obat dan vaksin. Para saintis bisa mencari bagian tertentu genom SARS-CoV2 untuk dijadikan sasaran obat atau vaksin.
Diharapkan, dengan menemukan atau merancang zat yang bisa menghambat aktivitas genetis virus, kita akan mendapatkan obat dan vaksin yang bisa menjadi jalan keluar dari pandemi.
Buku Gen bisa didapatkan di: