KOMPAS.com - Pada 2002, Daniel Kahneman dianugerahi Nobel Ekonomi atas jasanya melakukan integrasi wawasan dari penelitian psikologi ke dalam ilmu ekonomi, terutama berkaitan dengan pendapat manusia dan pengambilan keputusan di bawah ketidakpastian.
Ia merupakan psikolog pertama, sejauh ini juga satu-satunya, yang mendapatkan anugerah Nobel Ekonomi.
Penghargaan yang diperoleh Kahneman tidak luput karena keterlibatan Amos Tversky yang meninggal pada 1996. Karenanya, penghargaan Kahneman terhadap Tversky begitu kentara dalam buku "Thinking, Fast and Slow", yang pertama kali terbit pada 2011.
Versi terjemahan bahasa Indonesia buku tersebut terbit dua tahun kemudian. Pada halaman persembahan tertulis: “Mengenang Amos Tversky”.
Kahneman secara jujur mengaku berutang pada Tversky. Gagasan-gagasan inti bukunya, tulis Kahneman dalam pendahuluan, “berasal dari satu hari mujur pada 1969 ketika saya meminta seorang kolega menjadi pembicara tamu di kelas yang saya ampu di Fakultas Psikologi, Universitas Ibrani Yerusalem.”
Kolega yang Kahneman maksud adalah Amos Tversky.
Baca juga: Science Underground: Waspada Jebakan Berpikir di Tengah Wabah Korona
Sesuai judulnya, "Thinking, Fast and Slow" mengurai dua sistem berpikir kita yang secara sederhana bisa disebut sebagai “berpikir cepat” dan “berpikir lambat”.
Kita dapat begitu cepat menyimpulkan seseorang sedang marah atau sedih sekadar dengan melihat wajah atau merasakan getaran suaranya.
Namun, untuk hal-hal lebih kompleks dan rumit, atau setidaknya tidak bisa dijelaskan atau diputuskan sepintas lalu, kita mengandalkan berpikir lambat, yang penuh perenungan dan pertimbangan.
Dalam bukunya, Kahneman menyebut kita berpikir dengan dua sistem. Kahneman menulis, “Sistem 1 beroperasi secara otomatis dan cepat, dengan sedikit atau tanpa usaha dan tanpa ada perasaan sengaja dikendalikan."
"Sistem 2 memberikan perhatian kepada aktivitas mental yang membutuhkan usaha, termasuk perhitungan rumit. Operasi Sistem 2 sering dikaitkan dengan pengalaman subjektif menjadi pelaku, memilih, dan berkonsentrasi,” tulisnya.
Banyak orang merasa dirinya rasional. “Ketika berpikir mengenai diri sendiri, kita menganggap diri kita Sistem 2, diri yang sadar, bernalar, memiliki kepercayaan, membuat pilihan, memutuskan apa yang dipikirkan dan dilakukan,” tulis Kahneman.
Sistem 2 seolah menggambarkan bagaimana “seharusnya” kita berpikir, yang sejalan berbagai aliran filsafat, yakni kontemplatif, tidak terburu-buru, analitis, menggunakan “tanda kurung”, dan sebagainya, atau dengan kata lain: lambat.
Kendati intuitif, impulsif, dan dirasa “kurang rasional”, dengan segala ketergesa-gesaanya, Sistem 1 toh paling kerap kita gunakan.
Porsi kita menggunakan Sistem 1 dan Sistem 2 jika dipersentasekan adalah 95 persen berbanding 5 persen. Sistem 1 sering tanpa sadar kita gunakan, misalnya pada saat menghadapi keadaan mendesak, yang menuntut keputusan cepat.