Pada Minggu pertama Juni 2020 ini, kita bertemu Farhan Siki dengan visi-nya sebagai seniman street art. “Seniman Lahir di Jalanan” akan menjadi tajuk utama.
Semenjak dipesan karya gigantiknya yang memaknai “kegelisahan di kota” pada pameran ArtJog 2009, yang kala itu Art Fair berjuluk Jogja Art Fair segera saja Farhan diundang ke benua Eropa.
Melakukan kerja-kerja kolektif dan mandiri di kantung-kantung komunitas street art Eropa serta terpilih oleh galeri privat mapan, Primo Marella di tahun 2012 dengan solo show-nya: Implosion di Milan, Italia.
Sebelumnya, semenjak era Orde Baru lengser, kepengapan iklim politik dan ekspresi bebas membuncah, para seniman mengikrarkan kreatifitas seluas-luasnya.
Farhan Siki melakukan berbagai proyek mandiri dan saling interdependesi dengan para seniman-seniman di Jakarta, Bandung, Yogyakarta sampai Surabaya dan Bali sejak akhir 1990-an sampai 10 tahun kemudian dengan bergiat pameran kelompok atau solo, merespons beragam atmosfer kota serta pilihan artistiknya: kritik pada kehidupan urban.
Pada karya terakhirnya, merespons Covid-19 ia menyusuri “kotak Pandora” kegelisahan manusia, pertempuran batin melawan derita, wabah coronoa virus ia tampilkan justru sebagai jalan sakral menuju Sang Khaliq.
Judul Via Via yang berarti “jalan-jalan” dalam bahasa Italia, yang ia benturkan dengan makna via dolorosa, jalan kesengsaraan menuju spiritualitas. Penderitaan akan wabah membuka jalan ke Tuhan.
Mungkin tak hanya karena wabah penyakit tapi masa depan kemanusiaan kita: konflik geo-politik dibeberapa wilayah jagat mencipta gurun nan tandus pada nalar dan rasa.
#BasriMenyapa seri ke-1, Mei 2020 lalu mengundang perupa perempuan Arahmaiani yamg mengulik narasi perjalanannya sebagai seniman perempuan yang menjelajah Tibet, Jerman, sampai bagian wilayah-wilayah tertentu di Bali yang menarik minatnya sebagai aktivis lingkungan hidup.
Terutama ia berbagi pengalaman pada bagaimana Tibet menyumbang sumber air bersih bagi 47 persen populasi dunia (85 persen populasi Asia) dari sungai-sungai yang berhulu di dataran tinggi: Gangga, Brahmaputra, Indus, Karnali, Sutlej, Yangzi, Huanghe (Sungai Kuning), Mekong, Salween sampai Irrawady; dan yang paling penting adalah peran apa yang disumbangkan oleh seniman Arahmaiani di sana.
Baca juga: Lagi, Jenazah PDP Corona di Makassar Diambil Paksa, Datang 150 Orang Terobos Barikade
Tamu seri ke-2 #BasriMenyapa, masih di bulan Mei menghadirkan Teguh Ostenrik, seniman senior yang tenar membangun instalasi raksasa seperti Tembok Berlin di Kalijodo Jakarta atau membuat koral buatan di perairan-perairan Indonesia dengan visi Underwater Sculpture Museum.
Karya Teguh terakhir menyoal berbagi makanan dalam masa wabah sebagai bagian dari estetika relasi dengan menghubungkan orang-orang dan lingkungan sekitar yang disantuni makanan-makanan siap santap.
Di masa depan, #BasriMenyapa juga menghadirkan Adi Panuntun, desainer yang tenar dengan video proyeksi atau video mapping raksasa. Ia akan membagi pengalaman tentang penemuan baru teknologi media digital dalam satu dekade ini.
Pada situs outdoor, komunitasnya, Sembilan Matahari, mempresentasikan teknik proyeksi yang menghasilkan cahaya masif ke obyek raksasa sebagai layar. Biasanya di sebuah gedung monumental dan bersejarah.
Pada akhirnya, Covid 19 memang sebuah deraan berat bagi kemanusiaan, tapi tak harus selalu kita akhiri dengan tangis dan tengadah tangan. Bukankah hidup harus dilanjutkan, tentu dengan kemandirian serta kegotong-royongan untuk berbagi dan suntuk berkreasi. (Bambang Asrini Widjanarko)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.