"Beratnya menerapkan budaya baru di masa pandemi disebabkan dari tiga faktor yakni sisi ekonomi, ideologi dan budaya," katanya.
1. Sisi ekonomi
Masyarakat sekarang ini yang terdampak Covid berusaha untuk bangkit memiliki daya tahan kemampuan ekonomi terbatas. Mereka melanggar kedisiplinan karena mereka butuh makan sehingga banyak yang melanggar kedisipilinan.
2. Ideologi
Untuk ideologi, hal itu terkait dengan persoalan resistensi anggota kelompok agama yang mengabaikan aturan protokol kesehatan Covid demi bisa melakukan ibadah layaknya dalam kondisi normal.
"Kita bisa lihat banyak kluster yang muncul dari kelompok ini. Resistensi ini bukan hanya terjadi di tanah air, tapi juga di negara lain," ujarnya.
3. Budaya
Masyarakat Indonesia dikenal sangat senang kumpul-kumpul. Tidak heran sejak diberlakukan era New Normal, pertemuan di angkringan, kafe hingga kumpulan sosialita kembali muncul.
Baca juga: Ini Jadwal dan Ketentuan Jalur Mandiri S1 UGM
Sementara narasumber lain, Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Prof. Dr. Djamaludin Ancok, mengatakan juga ada tiga hal yang bisa mengajak masyarakat untuk berubah, yakni:
Pertama, patuh karena takut dihukum sehingga ada peraturan dan penerapan sanksi yang tegas. "Sanksi diperlukan supaya orang ngerti, you berubah kalo tidak kena hukum," tuturnya.
Kedua, orang juga bisa berubah karena ada yang mengajak ia berubah sehingga peran seorang komunikator sangat diperlukan.
Ketiga, ada kesadaran dari diri sendiri lewat internalisasi dengan pengetahuan. "Kita harus membuat orang lain dan meyakinkan mereka sadar betul bahaya Covid ini bagi diri mereka sendiri," tandasnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.