Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Besar UGM: Jangan Mudah Percaya Klaim Penemuan Obat Covid-19

Kompas.com - 06/08/2020, 10:44 WIB
Ayunda Pininta Kasih

Penulis

KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Zullies Ikawati menyarankan agar masyarakat tidak mudah percaya terhadap klaim penemuan obat Covid-19 yang belum diuji kebenarannya.

Saran tersebut berkaitan dengan ramainya perbincangan atas klaim penemuan antibodi yang disebut dapat mencegah dan menyembuhkan pasien yang terinfeksi Covid-19.

“Jika ada berita-berita yang mengklaim penemuan obat Covid-19, jangan cepat percaya, karena penemuan obat Covid-19 tidak semudah itu. Carilah info-info berimbang pada lembaga-lembaga yang terpercaya seperti Badan POM,” papar Zullies seperti dilansir dari laman UGM.

Baca juga: Pakar IPB: Dibutuhkan 3 Bumi Untuk Penuhi Kebutuhan Manusia Tahun 2050

Ia juga menerangkan, pernyataan penemuan antibodi Covid-19 yang berasal dari herbal merupakan istilah yang tidak tepat.

Pasalnya, antibodi sendiri adalah suatu protein yang dibentuk oleh sistem imun ketika menghadapi paparan antigen/patogen, bisa berupa virus, bakteri, jamur, dan lainnya, termasuk terhadap virus Covid-19.

“Jadi kalau ada orang yang mengklaim menemukan atau menciptakan antibodi, tentu itu hal yang sangat tidak tepat,” imbuhnya.

Antibodi, terangnya, adalah senyawa yang dihasilkan oleh sel-sel imun, yaitu oleh sel limfosit B yang bekerja melawan antigen.

Baca juga: Kampus Terbaik di Australia Buka Beasiswa S1-S2 Senilai Rp 250 Juta

Dalam kasus Covid-19, yang bisa disebut sebagai produk antibodi adalah plasma convalescent yang berasal dari pasien Covid-19 yang sudah sembuh.

“Pasien Covid-19 yang sudah sembuh akan memiliki antibodi terhadap Covid-19, nah ini yang kemudian diisolasi plasma darahnya lalu ditransfusikan kepada pasien sakit, di mana plasma darah ini mengandung antibodi Covid-19,” terang Zullies.

Untuk kasus lain, lanjut dia, antibodi bisa diisolasi dari makhluk hidup dan mungkin dikemas menjadi satu sediaan, misalnya anti-bisa ular (ABU).

Serum anti bisa ular dibuat dengan cara memberikan bisa ular ke dalam tubuh hewan, seperti kuda atau domba.

Baca juga: Minta Maaf, Nadiem Berharap Muhammadiyah, NU dan PGRI Kembali ke POP

Proses penemuan vaksin dan obat, papar Zullies, adalah proses yang berbeda. Obat bisa berasal dari senyawa kimia atau diisolasi dari herbal, atau sumber lain.

Obat memiliki target tertentu pada tubuh manusia. Namun sebelum dicobakan ke manusia, calon obat harus menjalani dulu serangkaian uji pre-klinik pada hewan atau pada sel, selain itu juga harus diuji keamanannya.

Sementara itu, Zullies mengatakan vaksin sendiri bukanlah obat, melainkan suatu senyawa berupa antigen yang lemah yang bekerja memicu produksi antibodi pada tubuh orang yang divaksin.

Untuk vaksin Covid, maka bisa dibuat antigen berupa keseluruhan virus yang dilemahkan atau bagian dari virus yang kemudian ditempelkan pada virus pembawa lain, atau berupa mRNA virus SARSCoV2.

Baca juga: Kemendikbud Segera Putuskan Pembukaan Sekolah di Zona Kuning

Orang yang menerima vaksin akan menghasilkan antibodi terhadap virus Covid, sehingga menjadi lebih kebal dan tidak mudah terinfeksi.

“Penelitian tentang vaksin di Indonesia sudah dimulai di Lembaga Eijkman bekerja sama dengan PT Bio Farma, tetapi prosesnya masih panjang untuk sampai ke pasar,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau