BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Binus

Tak Hanya Indah Dipandang, Desain Produk Juga Harus Fungsional

Kompas.com - 27/11/2020, 07:03 WIB
Anissa Dea Widiarini,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Kurang lebih satu dekade lalu, handphone dengan layar sentuh mulai booming di kalangan pengguna gadget. Kala itu, iPhone, smartphone milik Apple, menjadi salah satu pelopor penggunaan layar sentuh pada ponsel.

Sejak saat itu, teknologi layar sentuh semakin berkembang dan menjadi salah satu fitur utama yang dimiliki hampir setiap handphone. Bahkan, teknologi layar sentuh yang tak pernah dibayangkan sebelumnya kini bisa terwujud. Contohnya, layar sentuh lipat di Samsung Galaxy Fold.

Kemajuan teknologi telah membuat layar sentuh smartphone tersebut bisa terlipat sehingga ukurannya jauh lebih kompak. Smartphone produksi perusahaan Korea Selatan ini merupakan salah satu pelopor ponsel layar sentuh yang bisa dilipat.

Untuk membuat handphone yang dapat dilipat, Samsung menggunakan layar yang terbuat dari kaca setipis tissue sehingga bisa ditekuk tanpa menyebabkan kerusakan.

Kunci lain dari teknologi ponsel lipat itu adalah penggunaan engsel di bagian dalam handphone. Teknologi engsel ini terinspirasi dari mekanisme jam tangan.

Mekanisme engsel pada Galaxy Fold terdiri dari beberapa gear yang saling mengunci sehingga dapat bergerak membuka dan menutup dengan mulus. Samsung mengatakan, teknologi engsel itu sudah diuji ketahanannya hingga 200.000 kali lipatan.

Supaya tampilan handphone tetap elegan, bagian engsel itu diletakkan tersembunyi di bagian belakang ponsel.

Berkat desain yang inovatif tersebut, Samsung Galaxy Fold berhasil meraih berbagai penghargaan, seperti penghargaan International Forum Design Award 2020 untuk kategori dan penghargaan Display Industry Award (DIA) dari International Information Display Society dalam kategori layar terbaik.

Tidak hanya soal desain

Sebagai informasi, pengembangan teknologi layar sentuh lipat tersebut dimulai sejak Samsung mengenalkan layar yang bisa ditekuk pada 2013. Perusahaan asal Negeri Ginseng itu membutuhkan waktu 6-7 tahun untuk menghasilkan produk inovatif, seperti Samsung Galaxy Fold.

Dalam menciptakan sebuah produk, terdapat suatu proses holistik yang melibatkan banyak aspek, mulai dari desain hingga teknik. Rangkaian proses tersebut untuk memastikan sebuah produk bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

Hal tersebut dibenarkan oleh Head of Product Design Engineering (PDE) Program, Binus Aso School of Engineering (BASE) Yosica Mariana. Menurutnya, pertimbangan saat mendesain sebuah produk tidak hanya soal keindahan.

Seperti mendesain handphone, jika ditelisik sebenarnya terdapat ilmu keteknikan yang diaplikasikan dalam pembuatannya. Misalnya, ketika memilih material layar yang digunakan perlu dipertimbangkan dari aspek durabilitas (daya tahan), fleksibilitas, hingga sistem konstruksi nya.

“Kalau hanya bicara unsur art saja, kita hanya bicara dari sisi bentuk. Sebenarnya, dalam mendesain produk itu juga diperhitungkan bagaimana suatu produk bisa berfungsi dengan baik. Nah, itu alasan kenapa harus ada muatan engineering-nya (keteknikan),” ujar Yosica kepada Kompas.com lewat sambungan telepon, Rabu (18/11/2020).

Maka dari itu, agar produk yang dihasilkan bagus dari segi desain dan juga bisa berfungsi dengan baik, dibutuhkan kemampuan mendesain sekaligus kemampuan engineering (keteknikan) yang baik.

Selain handphone, sebenarnya hampir semua benda yang digunakan sehari-hari merupakan hasil perpaduan antara ilmu desain dan ilmu keteknikan (engineering) atau Product Design Engineering (PDE).

Ilustrasi product design engineering Dok. SHUTTERSTOCK/CHAOSAMRAN_STUDIO Ilustrasi product design engineering

Untuk menghasilkan produk-produk fungsional itu, kata Yosica, dibutuhkan tenaga ahli yang mumpuni di bidang Product Design Engineering (PDE). Adapun tenaga ahli ini bisa diciptakan melalui program pendidikan khusus yang menggabungkan dua bidang keilmuan tersebut.

Program khusus Product Design Engineering (PDE)

Di Indonesia, kampus yang menyediakan program khusus Product Design Engineering (PDE) masih sedikit. Salah satu yang sudah sekaligus menjadi pelopornya adalah Binus ASO School of Engineering (BASE). Kampus ini telah hadir sejak 2014, Binus ASO School of Engineering (BASE) merupakan program kerja sama antara Binus University dan ASO College Group, salah satu sekolah kejuruan terbesar dan terkemuka di Jepang.

Adapun Product Design Engineering (PDE) menjadi salah satu program yang dimiliki Binus ASO School of Engineering (BASE). Melalui program ini, mahasiswa akan diberikan landasan pengetahuan dan keterampilan secara menyeluruh dalam pengembangan konsep desain produk yang inovatif dan fungsional, baik secara manual maupun otomatis.

Selain itu, mahasiswa juga akan diajarkan untuk memanfaatkan penggunaan bahan atau material, bentuk, warna, hingga tekstur secara optimal. Semua aspek itu kemudian disesuaikan dengan kebutuhan yang berpusat pada kebutuhan manusia di dalam batasan yang realistis.

“Jadi, bisa membuat produk yang mendukung kebutuhan manusia, (Mahasiswa) belajar cara membuat, mendesain, serta memastikan produk yang diciptakan fungsional dan praktikal sehingga dapat digunakan sehari-hari,” papar Yosica.

Untuk membuat mahasiswa memiliki kemampuan tersebut, kata Yosica, Binus ASO School of Engineering (BASE) merancang kurikulum yang menggabungkan ilmu desain dan ilmu keteknikan. Tak lupa, Binus ASO School of Engineering (BASE) juga menerapkan pendidikan karakter serta pengembangan soft skill dalam kurikulumnya.

Jadi, selain kemampuan terkait teknik dan desain, mahasiswa juga dibekali berbagai kemampuan, mulai dari analisis, problem solving, komunikasi interpersonal, kreativitas, hingga kemampuan visual dan spatial awareness.

Selain itu, mahasiswa tidak hanya diberikan pemahaman soal teori di dalam kelas, tetapi juga mempraktikkan materi yang diajarkan lewat berbagai tugas.

Akan tetapi, akibat pandemi Covid-19 proses belajar mengajar di Binus ASO School of Engineering (BASE) mengalami perubahan. Saat ini, seluruh proses belajar, termasuk kegiatan praktikum, dialihkan secara online sesuai dengan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang dikeluarkan pemerintah.

Meski begitu, Yosica menjelaskan, Binus ASO School of Engineering (BASE) berkomitmen untuk menjaga kualitas proses belajar mengajar agar tetap optimal kepada mahasiswa.

“Kami selalu berupaya menjaga kualitas pembelajaran yang diberikan dengan cara yang sama dengan kegiatan belajar di kampus. Kami terus melakukan evaluasi dan improvisasi teknik belajar,” imbuh Yosica.

Proses pembelajaran secara online dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Binus ASO School of Engineering (BASE) juga menyediakan platform media pembelajaran khusus yang dapat diakses dengan mudah oleh dosen dan mahasiswa.

Untuk kegiatan praktikum, kata Yosica, semua dilakukan di rumah karena masih dalam kondisi pandemi. Jika mahasiswa butuh mengakses software-software khusus yang ada di laboratorium, mereka bisa memanfaatkan remote system yang bisa diakses dari gadget.

Lewat semua upaya itu, mahasiswa diharapkan tetap bisa belajar secara optimal, meskipun proses belajar dilakukan dari rumah. Dengan demikian, di masa mendatang akan lahir tenaga ahli lokal yang mumpuni di bidang Product Design Engineering (PDE).


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau