Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indy Hardono
Pemerhati pendidikan

Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation. 

Tinggalkan Zona Nyamanmu dan Raihlah Beasiswa

Kompas.com - 21/01/2021, 11:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Baru soft launching hari ini. Terima kasih kami haturkan kepada Ibu dan Nuffic Neso yang sudah mempertemukan kami 3 tahun yang lalu.” 

Sungguh saya tercekat membacanya. Affan keluar dari firma hukum besar itu? Affan dan Ari? How could it be possible? Dua orang yang sangat berbeda. Apa yang membuat mereka bersatu dan sepakat untuk bekerja bersama?

Walaupun memaknai dunia dari sisi berbeda Affan dan Arie sepakat paling tidak untuk satu hal bahwa hidup dan kuliah di Belanda adalah perjuangan dari awal sampai akhir, dari matahari terbit sampai terbit lagi, dari hari pertama tiba sampai tiba saatnya memesan one way ticket Amsterdam- Jakarta untuk pulang ke tanah air ketika studi hampir tuntas, yang nikmatnya tak dapat dilukiskan.

Itulah landasan pertama pertemanan dua orang yang sebenarnya sangat berbeda. Teman sependeritaan!

Lebih jauh lagi mereka memiliki persamaaan dalam menyikapi sebuah tantangan dan perjuangan. Serta kesadaran bahwa percepatan untuk meraih sesuatu dengan impact yang lebih dahsyat tak lain adalah dengan meninggalkan zona nyamannya masing-masing.

Mereka memiliki kesadaran bahwa istana berisi kenyaman harus ditinggalkan, karena nothing great comes from a comfort zone.

Affan harus rela hanya memiliki sepeda (bekas) untuk mengantarnya kemana-mana selama di Belanda, dalam medan apapun.

Katanya, belum tinggal di Belanda jika belum merasakan bersepeda di suhu di bawah nol derajat celsius sambil melawan angin yang berhembus kuat tegak lurus langsung ke dada, angin khas Belanda!

Sementara Arie harus menerima kenyataan bahwa hakikat ilmu bukan di dapat dari sebuah tesis berkualitas sesuai dengan yang direncanakan namun dari pembelajaran tentang hidup ketika menyaksikan betapa ‘norak’ namun bahagianya mahasiswa Indonesia dalam merayakan turunnya salju, nikmatnya mentertawakan diri sendiri ketika harus makan bihun goreng buatan sendiri pada saat buka puasa bersama yang penampakannya lebih mirip nasi goreng!

Segala perenungan dan kontemplasi dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan sungguh sebuah ilmu yang tak berhenti mengalir dan tak berbatas ruang yang disebutnya sebagai pelajaran Kelas Dalam Diri.

Itulah interface seorang Affan dan seorang Arie. Itulah titik temu keduanya. Kini mereka sepakat untuk kembali meninggalkan zona nyaman mereka yang bernama kemapanan dan kestabilan untuk sesuatu yang baru yang tak seorangpun tahu dan menjamin keberhasilannya.

Affan meninggalkan posisi senior associate, sebuah posisi yang sudah pasti memberikan berbagai fasilitas dan paket remunerasi premium.

Sebuah keputusan yang mungkin jauh lebih sulit dibandingkan dengan keputusan untuk meninggalkan pekerjaan dan mengejar gelar master di di kota (super) kecil Tilburg di Belanda.

Arie pun kali ini harus rela meninggalkan zona nyamannya yang terbalik dengan Affan yaitu fleksibilitas, kelugasan berpikir dan berpendapat seperti apa yang ia sering tuangkan dalam berbagai tulisan dan artikelnya di media, yang harus ditukarnya (mungkin) dengan jas dan sepatu pantopel kulit, rutinitas dan kepentingan klien.

Pemuda dari selatan

Kemudian ada Ulil. Seorang penerima beasiswa StuNed yang berasal dari Makassar. Dari awal saya sudah melihat motivasi yang kuat dari pemuda berambut ikal ini.

Baca juga: BCA Buka Beasiswa Pendidikan, Kuliah Gratis dan Uang Saku Bulanan

 

Bayangan akan suasana indah kuliah di Eropa, ditambah dengan kesempatan berjalan-jalan ke berbagai negara, serasa sirna begitu Ulil menjalankan hari-hari dan bulan-bulan pertamanya di Belanda.

Ulil serasa ditampar oleh sistem perkuliahan yang sangat demanding, dan menuntut kemandirian tingkat dewa yang hampir membuatnya tidak dapat bernapas.

Perjuangan untuk sekedar survive saja sudah membuat hidup Ulil di Wageningen kota (kecil juga), sangat berat dan menantang.

Belum lagi kemampuan bahasa Inggris yang menurutnya just average itu ternyata tidak cukup sebagai modal untuk dapat mengikuti perkuliahan yang interaktif yang menuntut semua mahasiswa untuk berani berpendapat, bertanya dan bahkan mengkritik.

Namun keadaan itu tidak membuatnya gamang dan berhenti di tengah jalan. Katanya, jika kita dalam situasi ‘kepepet’ maka kreatifitas biasanya malah muncul.

Dengan berbagai jurus Ulil mampu sedikit demi sedikit mengatasi masalahnya dan bahkan mulai menikmati kehidupan barunya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau