Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indy Hardono
Pemerhati pendidikan

Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation. 

Tinggalkan Zona Nyamanmu dan Raihlah Beasiswa

Kompas.com - 21/01/2021, 11:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Setiap beasiswa memiliki proses seleksi berbeda-beda. Ada "hanya" memberikan penilaian berdasarkan dokumen, dan ada juga menyertakan berbagai mekanisme seleksi seperti interview dan focus group discussion.

Saya sering ditanya dalam setiap presentasi saya: orang seperti apakah yang sebenarnya dicari dan diinginkan setiap lembaga pengelola beasiswa.

Jawaban standarnya tentunya adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan dan kriteria ditetapkan. Setiap beasiswa tentunya memiliki persyaratan dan kriterianya masing-masing.

Untuk persyaratan biasanya sifatnya generik seperti nilai kemampuan bahasa Inggris, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan persyaratan administratif lainnya. Demikian pula untuk kriteria juga cukup standar misalnya motivasi, kepemimpinan, dan kemampuan berkomunikasi.

Membahas tentang kriteria memang agak sulit karena karena definisi dan instrumen ukur yang beragam, dan terkadang subyektif.

Menurut saya untuk mengetahui profil seperti apa yang dicari, yang paling straight forward adalah dengan melihat "produk" atau output dari program beasiswa itu. Dan output yang paling kentara adalah profil para alumni.

They are the real showcase!

Alumni penerima beasiswa StuNed, program beasiswa Belanda, sangat beragam, baik dari sisi daerah asal, latar belakang pendidikan dan profesi. Namun seharusnya ada benang merah yang dapat ditarik dari sekitar 4.600 alumni alumni StuNed tersebut.

Saya pun mencoba menerawang profil-profil tersebut walaupun mungkin tidak semua saya kenal cukup dekat. Terawangan saya membawa saya ke beberapa profil alumni.

Baca juga: 13 Kampus Swasta dan Quipper Buka Beasiswa S1 Penuh-Parsial

A Tale of Two Lawyers

Namanya Affan. Ia adalah salah seorang alumni penerima beasiswa StuNed yang boleh dibilang cukup cemerlang perjalanan karirnya. Ia seorang associate lawyer di firma hukum korporasi top-tier di Indonesia .

Affan adalah typical lawyer ibu kota yang selalu tampil rapih dengan penampilan yang sangat corporate look. Affan mengambil program studi Law and Technology di Tilburg University di Belanda.

Sedikit pendiam namun Affan adalah orang yang sangat pragmatis, ambisius dan terstruktur.

Kemudian, tersebutlah Arie, teman Affan satu jurusan di universitas yang sama. Bak Groningen- Maastrich– satu di ujung utara, satu lagi di ujung selatan, keduanya memiliki ingredients yang sangat berbeda!

Arie dengan rambut gondrongnya dan gaya lebih casual adalah seorang ligitator sekaligus peneliti yang karirnya lebih banyak di organisasi nirlaba.

Dibandingkan Affan, Arie jauh lebih ekspresif, menggebu, lugas namun terkadang melankolis. Ia menyikapi dan menjalani hidup dengan lebih santai namun dengan pemikiran super dalam yang terlihat dari isi dan gaya tulisan-tulisannya .

Selama studi di Belanda, keduanya berjuang menghadapi sebuah tantangan baru. Tantangan yang meminjam istilah Arie judul besarnya adalah “Ketika Dignity Terinjak-Injak”.

Bagaimana Affan terpaksa harus puas minum kopi encer dari vending machine di kampus seharga 1 euro dan melupakan kental dan fancy-nya kopi seharga 50-60 ribu rupiah yang hampir setiap hari dibelinya di gerai kopi ternama di lobi kantornya di kawasan segitiga emas di Jakarta, menjadi salah satu highlight dari kisah epik itu.

Juga cerita bagaimana ‘baper’ dan terhempasnya ego Affan pada saat ditegur oleh petugas kantin di kampus ketika kedapatan mengambil lebih dari satu lembar tissue saat makan siang!

Arie juga bergulat dan berjuang dengan tantangan yang dihadapinya. Ia melihat pengalaman selama di Belanda bukan sekedar belajar untuk mencari ilmu pengetahuan namun belajar untuk bertahan dalam setiap situasi yang penuh cobaan.

Bertahan dan bersabar katanya. Tuntutan akademis yang berat dan tak kenal waktu tak jarang menguji ketahanan fisik dan mental. Catatan penting dari Arie adalah kadang kita melupakan sisi humanis dan hanya mengandalkan sisi nalar semata.

Baca juga: Mau Dapat Beasiswa, Ini 10 Cara Meraihnya

Kita harus belajar bahagia dari hal-hal sepele, bodoh dan norak sekalipun. Kedua sisi itu harus tumbuh secara simultan jika kita ingin unggul dan terus berjalan ke depan.

Dan kira-kira dua minggu lalu saya mendapat sebuah pesan singkat di Whatsapp dari Affan, yang isinya, “Bu Indy… saya mau meng-update sekaligus mohon restu dari Ibu. Saya sama Arie buka law firm sendiri bu."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com